Keadaan ruangan itu gelap dan remang-remang, saat sepasang muda-mudi
mencari suatu barang. Ialah Fay, lelaki bertubuh atletis itu, masuk
menemani Yuna kekasihnya, gadis penakut yang bawel. Mereka berdua
berniat masuk mencari sesuatu. Kaca mata renang, ya, benda itu yang
mereka cari. Dengan sinar senter hape yang mereka pakai, mereka
bersama-sama mencari kacamata tersebut di antara kelamnya ruangan,
dus-dus kosong dan sarang laba-laba serta debu.
“memangnya dimana letak kotaknya, yun?” Tanya fay
“kata bibi, di sudut gudang, berlawanan arah sama kaca ventilasi”
“barangnya ada kan?”
“ada kok, ituk an punya…” ucapannya terputus
“punya siapa?”
Yuna tak menjawab, tapi ia berhasil menemukan kotak yang mereka cari.
Fay pun tak memperdulikan pertanya tadi, ia terlihat bahagia saat
mendapatkan kacamata renang yang yuna punya. Lantas tak butuh waktu
lama, kacamata itu sudah terpasang menutupi sepasang bola mata Fay.
Sedangkan yuna, masih mengorek-ngorek benda di dalam kotak itu. Ia
dapatkan sebuah album foto yang dihiasi debu. Album yang sebesar buku
catatan. Lebih tebal dan berisikan banyak lembar foto. Fay kebingungan
saat ia melihat benda yang yuna pegang. Yuna sekejap membalik-balikan
lembar demi lembar kertas foto ukuran 4r itu dengan sinar senter
seadanya. Fay penasaran ia mendekatinya, mencoba mengintip sekilas album
foto Yuna.
“eits… rahasia cewek tau!” ujarnya pada Fay, album pun ditutup. “Yuk
keluar” ucap Yuna mengakhiri. Alhasil niatan Fay melihat foto yang
membuat ia penasaran, menjadi sia-sia.
Fay berkemas, hari ini ia akan berpacu di dalam air kolam. Ransel
berisi perlengkapan renang, ia gantung di kedua pundaknya. Lalu Fay
berjalan masuk menuju ruang tamu, di mana yuna sedang tenggelam dengan
kenangan yang terlangkul dalam album kepunyaannya. Fay menjadi semakin
penasaran akan album foto Yuna.
“yuna, yuk kita pergi” ucap Fay pada Yuna. Tapi kenangannya dalam
foto membuat telinganya non aktif untuk sementara. Fay terlihat jengkel,
gusar, tangannya dikepal seakan-akan ingin meninju.
‘kecoaaa…” Teriak Fay, Yuna sontak terperanjat
“aaa… kec… kec… kecoa, mana-mana” pekik suara Yuna, yang kini berdiri di
kursi, seolah-olah menyelamatkan diri dari kapal yang hendak karam.
“dah keluar, mau beli bakso kali, hehe” ucap Fay, melantur.
“kamu nih ada-ada aja, kalau aku jantungan gimana?” sanggah Yuna
“lagian serius amat ngelihat fotonya” jawab Fay
“week… biarin” ucap Yuna mencibiri Fay, sambil menjulurkan lidah
“ayo kita pergi” ucap Fay mengajak kembali Yuna pergi
“maaf beibh, mama nyuruh aku di rumah, hari ini kan baru kualifikasi. Besok aku pasti datang”
“yah kok begitu”
Yuna tidak memberi jawaban, ia menghampiri Fay yang sedang tegak di
depan pintu. Yuna menempelkan jari telunjuknya tepat di bibir pacarnya.
Sembari mengangkat lengan kanan Fay. Nampak arloji yang sporty,
bertuliskan 10:00, sebagai isyarat agar Fay cepat pergi. Fay setengah
kaget, tanpa buang waktu lagi, Fay pergi saat bibirnya terbebas dari
telunjuk kanan Yuna.
—
Fay datang nyaris terlamabat. Membuat pelatihnya meradang. Fay yang
keras kepala, begitu saja lari menjauh dari ceramah sang pelatih. Fay
berlari sangat kencang, karena namanya sudah diperdengarkan oleh
panitia. Lantas ia masuk ruang ganti dengan terburu-buru, fay langsung
menanggalkan pakaiannya dengan menyisakan sebuah celana pendek ketat
yang tertempel di bagian bokongnya. Dilanjutkan dengan memakai penutup
kepala yang elastis. Lalu sambil berlari ia memasang kacamata renangnya.
‘bruk’ tubuh fay tersungkur, seseorang tanpa sengaja menghalangi laju
kencangnya. Lelaki itu segera membantu fay. Orang itu menjulurkan
lengannya dan hendak membantu Fay kembali berdiri. Namun reaksi
penolakan bercampur amarah meradang di lubuk hatinya. Fay pun bangkit
sendiri dan berlari lagi.
“kacamatanya…” ucap lelaki yang sebentar ini bertabrakan dengan Fay,
dari sorot matanya, orang itu merasa mengenali kacamata yang Fay pakai.
Mendengar orang itu berteriak Fay lantas berputar membalikan badan.
Kembali menghampiri pemuda itu dengan muka ketus, tanpa berbicar sepatah
kata pun hingga ia naik ke podium start
—
Ruang ganti perenang. Kursi besi ringan yang memanjang dan locker
yang berjajar saling bersebrangan menjadi tempat pesakitan. Fay lemas
dan hanya melamuni saat ia terjun ke air. Berbasah-basahan memperagakan
skill renang gaya bebasnya, saat tangan dan kaki berganti-gantian
mendorong tubuhnya melaju di permukaan air. Namun di tengah lintasan
renang. Kakinya tiba-tiba kram dan pintu kekalahan pun tergambar jelas
di ingatannya.
Dengan muka membara, pelatih Fay datang. Buku yang digenggamnya kini
menyerupai alat pukul. Wajah Fay terlihat gelisah. Matanya tak tentram
memandang ekspresi muka pelatihnya.
“kenapa? Kalah ya?” ucap pelatih. “ya jelas, wong kamu gak pemanasan” sindir sang pelatih
Fay masih tertunduk lesu dengan rasa penyesalan.
“ok! Cuma ada satu kategori lagi. Gaya punggung, dua hari lagi” ujar pelatih sambil mengangkat dua jemarinya
“tapi pak…” ucapan fay terputus
“bapak tau, kamu belum menguasainya kan” ucap pelatih, pemuda yang seakan sedang diintrogasi itu hanya mengangguk tak bersuara.
“Cuma itu yang bisa kau perjuangkan nak, bila ingin lanjut ke tingkat
nasional’ tambahnya sembari menepuk pundak muridnya dan berlalu
meninggalkan Fay. Fay kembali termenung, sepuluh jarinya kini bertumpuk
di wajahnya.
—
Embun pagi terasa menyapa kulit tangan yuna, yang sedang merobek
dedaunan tepat di halaman depan kelas yuna. Dinding bercorak putih
abu-abu menjadi background saat tubuh Fay menyandar di bangku santai
kepunyaan sekolah. Pemuda itu tambah terpuruk, saat ia melihat bahagia
di wajah yuna. Ada apa dengan yuna? Pekik fay dalam hati. Aku disini
sedang bersedih. Tapi kenapa dia bisa tersenyum? Bicara batin fay
Yuna mendekati fay, tampak pacarnya sedang merasa susah, jamarinya
kini mengelus-elus rambut pangeran cintanya. Fay tak menanggapi tatapan
yuna kepadanya, ia lantas berganti memandang langit-langit. Di ujung
sadarnya, Fay teringat kekalahanya kemarin. Namun
Yuna tak tau kah kalau kekasihnya kalah.
“beibh, kok mukanya ketus gitu?” Tanya yuna
“kamu kok senyum-senyum aja dari tadi” fay balik bertanya
“Senyum? mana ada? Kamu kenapa sih? Belum jawab pertanyaan aku juga”
Fay tak menjawab pertanyaan Yuna. Kesal dan bingung kini hinggap di
benak yuna. Namun Nina, teman sebangkunya datang. Dengan cepat ia
menggengam tangan yuna. Ia berdalih minta ditemani ke wc. Gadis cantik
itu tak kuasa menolak ajakan nina. Fay bertambah kesal.
Tas tali samping berwarna pink kepunyaan yuna, saat ini tersandar di
samping tubuh Fay. Badan lemasnya terangkat, saat tas pacarnya bergetar,
pertanda ada hp Yuna di dalamnya. Matanya terbelalak saat ia baca
beberapa pesan dari seseorang bernama ‘Marta’. Inboxnya pun Fay
jelajahi, dilihatnya kini satu per satu pesan yang masuk sedari kemarin,
penuh dengan kata-kata yang mencurigakan. Ternyata orang ini yang
mengalihkan dunia yuna, bentak Fay dalam hati.
Fay emosi, matanya memerah seperti kerasukan setan. Namun ia mencoba
bersabar, ia letakan kembali hp yuna, kekasihnya. Tapi ternyata mata fay
tertuju pada album. Ya, album foto yuna. Terlihat usang, persis seperti
yang ada dalam gudang kemarin. Menjadi tanda tanya besar dalam hati
Fay, buat apa album itu yuna bawa?
Rasa cemburu Fay kini berapi-api, saat indra penglihatannya,
memandang beberapa foto pacarnya dengan orang lain, mereka tampak mesra,
begitupun halaman-halaman selanjutnya yang dibuka. Ia berhenti sejenak,
ketika melihat seseorang itu mengenakan baju renang. Akan tetapi ia
merasa mengenali pria dalam foto itu. Tiba-tiba badai di ingatannya
hadir bertubi-tubi, mencoba mengingat kembali, kapan ia mengenal pria
misterius di photo Yuna serta menggambari apa saja yang telah ia
lewatkan kemarin. Dan ingatan itu jatuh pada saat fay bertubrukan dengan
seorang pria sepantarannya.
Fay muak. Sikapnya beringas, dengan kesal ia lempari album usang itu.
Yuna yang bebas dari tawanan Nina, tak sengaja melihat bagaimana album
usang itu melayang berputar bagai boomerang lalu tercampak begitu saja.
ia melihat Fay, sang pujaan hati melakuknnya.
“siapa marta?” ucap Fay berang
“bukan siapa-siapa beibh” ucap yuna menenangkan
“jelas siapa-siapa” nada bicara fay mulai meninggi “karena sms-nya selalu kamu balas” ucap fay berapi-api
“aku kalah!” ucapnya agak merintih “satu titik pun pesan tak datang ke
hp ku” suaranya mulai serak. Ia berdiri dari duduknya. Mendekatkan
lapisan bibirnya pada telinga kiri Yuna, sambil berkata “maaf!. aku
membuang album berisi pria brengsek itu” ucap Fay sambil menunjuk
kekesalan ke arah album usang itu, yang telah mendarat di tempat sampah.
‘plak’ satu tamparan mendarat di pipi kanan Fay. Fay menatap kesal Yuna.
Urat-urat lehernya terukir jelas seperti akar. “ok! Fine…” ucap fay.
Isak tangis pun pecah, satu per satu air di kelopak mata yuna menetes.
Saat itulah kaki fay menghatarkan ia menjauh meninggalkan yuna.
Esoknya, tiba saatnya Fay untuk berlomba. Hari ini perhelatan
terakhir lomba renang. Fay tak ingin impiannya gagal, ia kini melakukan
pemanasan di tepi kolam. Namun masalah sekarang berkumpul menghujat
setiap denyut-denyut urat sarafnya. Membebani alam sadar fay. Wajahnya
tegang, bagaimana tidak? Ia akan berlomba pada kategori yang tidak ia
kuasai.
Tak sengaja ia melirik seseorang yang tersenyum. Lalu meneriaki ‘ayo fay
semangat’. Orang itu adalah Yuna. Namun wajah kesal itu masih kental di
lingkaran mukanya. Ia masih kesal dengan gadis yang ia pacari, meski
sekarang gadis itu sedang duduk di tribun penonton.
Dari balik ruang ganti, marta datang, ketika fay sedang berlari
mengitari kolam renang. Fay yang telah mengenali jelas wajah Marta,
berjalan mendekati lelaki yang sedang bercengkrama dengan beberapa
perenang lainnya. Namun suara langkahnya diketahui marta.
“oh hay bro” ucap marta. Tiba-tiba Fay meradang. ‘bugggk’ satu pukulan
tepat di pelipis kiri, saat sapuan tinju Fay mengenainya, tak khayal
darah mulai bercucuran di pelipis pria itu. serta membuat pria tak
bersalah itu terdorong hingga terjatuh. Tak sampai di situ, kini Fay
menggengam kerah baju marta, mengajaknya setengah berdiri. Lalu 2-3
pukulan mentah menghantam ujung bibir beserta hidung mancung pria itu.
Sedetik kemudian, situasi panas itu menjadi kondusif. Saat para perenang
dan staf lainnya datang melerai.
Yuna berlari menuju ke bawah tribun. Setelah ia menyaksikn secara
langsung sang pacar menganiaya mantannya. Kala itu, yuna menjadi serba
salah. Gara-gara dia Marta dan Fay berkelahi. Gara-gara kecemburuan Fay
malapetaka pun terjadi.
—
Ruang ganti kini menjadi ruang peskitan mereka bertiga. Mereka saling acuh kecuali Yuna. Yuna memandang mereka prihatin
“Fay, sekarang kamu udah tau semua. Marta ini mantan aku” ucap yuna.
Tapi Fay seolah tak mendengarnya. Ia hanya menetap kosong menghadap ubin
lantai “aku tau, aku salah tapi bukan kayak gini caranya Fay” ucap yuna
agak meninggi
“terus bagaimana caranya?” ucap Fay singkat
“caci aku, maki aku. Aku dapat menerimanya” pinta yuna
“kalau kayak gitu, hati gue gak lega” jawab Fay tanpa melirik yuna
“dasar psikopat lu” sanggah marta, Fay menggidik
“diam lu, perebut pacar orang” ucapnya sambil menunjuk Marta
“eh budek, gue mantannya lu gak denger” ucapnya sambil memegang telinga “yuna kangen sama gue, memamg salah”
“diam… diam..” Berang Yuna sambil menyeka air mata ”disini aku yang
salah. Ini semua tak kan terjadi kalau aku terus terang ke kamu fay”
“enggak yun, kamu kamu gak sal…”
“marta tolong ngertiin aku” ucap yuna memotong pembicaraan marta.
“Fay aku minta maaf” yuna berusaha menenamgkan fay hingga air matanya
jatuh berlinang. Namun Fay sama sekali tak memberi jawaban, bahkan
melihat pacarnya saja tidak “beri aku kesempatan satu kali lagi untuk
dapat mempertahankan cinta kita”
Terlihat fay agak melunak. Pria itu pun bangkit dari duduknya. Ia
menatap yuna bagaikan menatap bola salju yang membawa ketenangan. Yuna
menatap pacarnya. Ia yakini segala perkataan, bujukannya tadi akan
merasuki segmen pada fikiran Fay. Ia merasa dapat menenangkan banteng
yang tengah mengamuk di depan matanya. Namun pandangan Fay tiba-tiba
seakan berapi-api. Dan mengangap kata-kata Yuna hanya sepintas lalu di
telinganya.
Fay kini menjinjing tasnya, ia berdiri dan bersiap melangkah menjauhi kekasihnya. Dengan sigap yuna menggengam lengannya.
“kamu mau kemana? Kita belum selesai ngomong” rintih yuna.
Fay tak menjawab. Ia melepaskan rangkulan yuna dan pergi meninggalkan
yuna. Marta mencoba mengejar Fay. Ia tak terima mantanya di perlakukan
seperti itu. Namu usahanya saia-sia, Fay dengan emosi mendorong pundak
Marta sampai ia terjerembab membentur dinding lorong ruang ganti.
Yuna hanya mampu menahan tetes demi tetes air matanya, tapi tangisnya
pecah tidak terbendung, hingga ia tersandar di ujung kerangka locker
room. Dalam hati kecilnya ia berharap Fay mau memaafkannya. Dan mengukir
jalinan cintanya seperti sedia kala.
Fay kini sudah di luar arena kolam renang. Sambil berlalu, ia
menyaksikan para perenang lain berlomba. Sang pelatih bahkan membuang
muka untuknya. Fay tau tindakannya sangat tidak professional untuk
menjadikanya seorang atlit. Melihat pelatihnya bersikap begitu, membuat
matanya berkaca-kaca. Tetapi fay tidak bisa merubah keadaan, ia tetap
tak bisa berpacu di atas air. Secara sah ia telah di diskualifikasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar