Cerita ini dimulai saat usiaku genap 17 tahun. Saat ini aku adalah
seorang siswi di sebuah sekolah ternama di surabaya, SMA Gemilang. Aku
dilahirkan dan dibesarkan dari sebuah keluarga yang berada, papaku
seorang pengusaha batubara di kalimantan sedangkan mamaku seorang owner
sebuah restoran mewah. Ya, seperti kebanyakan anak orang kaya yang
selalu dimanjakan dengan uang namun kurang kasih sayang. Padahal masih
teringat dengan jelas masa-masa kecilku yang begitu indah bersama kedua
orangtuaku, meskipun saat itu keluargaku belum sesukses ini. Tapi
setidaknya aku masih bersyukur karena memiliki orangtua yang lengkap,
dan itu sudah lebih dari cukup untukku. Cerita tentang keluargaku memang
tidak ada habisnya, karena itu adalah cerita panjang dan tidak ada
akhirnya. Hehe.
Namaku adalah Syaila Aquilla Moor lahir di Tokyo, Jepang namun
berkebangsaan Indonesia. Aku dilahirkan dari pasangan David Moor dan
Kariza Dinora yang merupakan kedua orangtuaku. Semenjak papa tinggal di
Kalimantan, mama hampir tak pernah di rumah. Alhasil tak ada yang
menemaniku di rumah kecuali Si mbok Darti, pembantu keluarga kami dari
25 tahun yang lalu.
Hari ini adalah awal masuk sekolah setelah libur panjang yang
membosankan. Aku melangkah menyusuri koridor sekolah menuju ruang
pengumumun untuk mengetahui dimana letak kelasku. Tiba-tiba dari arah
belakang kudengar suara bawel dua orang cewek yang sangat aku kenal,
Zahra Aisyah dan Agnessa Viara mereka adalah sahabatku semenjak aku
bersekolah di sini.
“Hai Syil, lama banget kita nggak ketemu tapi kamu makin cantik aja.”
Komentar Agnes, sahabatku yang paling bawel seantero dunia. Haha..
Jam pelajaran telah habis, kini waktunya istirahat. Aku dan dua orang
sahabatku tanpa dikomando langsung beranjak dari tempat duduk dan
melenggang dengan senangnya menuju kantin sekolah. Setelah kami memesan
makanan yang kita mau, kami langsung membicarakan apapun yang ingin kita
bicarakan kecuali liburan semester ini, karena mereka tidak ingin
membuatku tersinggung. Namun perhatian mereka beralih ketika ada
segerombolan cewek yang mengerubuti sesuatu. Ternyata sesuatu itu adalah
seorang anak baru pindahan dari Bandung, yang kata semua cewek di sini
seperti ada pangeran jatuh dari kerajaan.
Sekolah sudah sepi ketika aku masih menunggu Mang Diman yang belum
juga menjemputku, entah sudah berapa lama aku di sini sampai-sampai aku
tidak menyadari kehadiran seseorang yang duduk di sampingku. Dia hanya
diam dan memejamkan matanya, namun saat kutanya dia tidak langsung
menanggapinya. “hmm, aku Gerald murid baru di sini.” Ucapnya kemudian
sambil menjabat tanganku. Pertemuan yang begitu singkat karena aku sudah
dijemput Mang Asep supir pribadi Mama. Hari kedua di sekolah aku
dijemput Willi, kapten tim basket di sekolah sekaligus idaman
cewek-cewek Gemilang jauh sebelum Gerald datang. Sesampainya di sekolah
semua perhatian tertuju pada kami, mungkin mereka iri karena mereka
pikir kita sudah menjadi pasangan kekasih.
Bel istirahat telah berbunyi, seperti biasa kami langsung menuju
kantin seolah-olah hanya itu tempat yang bisa kami tuju. Di tengah
lapangan kulihat Willi sedang latihan basket dengan teman-temannya.
Entah kenapa dan ada angin apa kurasakan ada seseorang duduk di
sebelahku, setelah kulihat ternyata Gerrald. Aku heran kenapa dia ada di
sini padahal masih banyak bangku yang kosong, dan dia seolah-olah tidak
memperdulikan kalau dia menjadi bahan pembicaraan di sini. Dari arah
lapangan basket kudengar irama langkah kaki yang sangat kukenal,
William. Perhatian semua orang kini benar-benar tertuju kepadaku,
apalagi dua cewek centil di depanku.
Aku sudah tahu apa yang akan terjadi, bukan karena aku bisa meramal
tapi karena aku tahu sifat Willi yang selalu ingin melindungiku dari
apapun yang mengancam ketenangan dan kebahagiaanku. Namun tanpa kusangka
gerald segera beranjak dari tempat duduknya dan meninggalkan kantin
dengan tenangnya. Aku bingung dengannya terkadang dia muncul tiba-tiba
dan pergi pun dengan tiba-tiba, begitu misterius.
Hari demi hari telah kulalui, seperti biasa Willi menjemputku dengan
mobil sportnya. Tidak seperti biasa istirahat kali ini aku berada di
perpustakaan dan tentunya tanpa ditemani dua cewek centil yang biasanya
selalu bersamaku. Entah sejak kapan mereka begitu alergi dengan
buku-buku yang menjadi penghuni perpustakaan ini. Di sudut perpustakaan
aku melihat gerald yang sedang menyendiri ditemani setumpuk buku sastra.
“Ternyata kita bertemu di sini, apa kabar? Sudah lama aku tak melihatmu
setelah insiden di kantin satu minggu yang lalu.” Sapanya kepadaku yang
membuatku kaget. Bagaimana dia tahu aku di sini padahal aku berada di
belakangnya, aku rasa dia punya indra keenam karena dia selalu tahu apa
isi hatiku. “Kenapa tak menjawab salamku, are you ok Syaila?” ucapnya
lagi padaku yang langsung aku jawab, “Emm, yeah of course I’m ok.” Dan
terjadilah pembicaraan singkat di antara kami.
Aku terusik tentang perkataannya tadi di perpus yang membuatku tidak
bisa tidur malam ini “Apa kau tahu, di sini aku tidak memiliki teman.
Aku hanya ingin belajar di sini dan tentunya ada seseorang yang
menemaniku sebagai seorang teman. Apa aku salah kalau aku ingin berteman
denganmu? Aku pikir kau siswi populer di sekolah ini, mangkanya aku
ingin lebih dekat denganmu. Tapi aku rasa aku harus menjaga jarak
denganmu karena kau memiliki popularitas yang terlalu tinggi.” Kata-kata
itu selalu terngiang dalam ingatanku. Bagaimana bisa orang sekeren dia
tidak memiliki teman, apa dia bercanda? Mungkin karena dia terlalu keren
mangkanya banyak anak yang minder untuk mencoba mendekatinya, apalagi
menjadi temannya.
Istirahat kali ini aku mencarinya, tapi dia tidak ada di manapun. Aku
rasa dia sedang berada di suatu tempat yang tidak ingin diketahui oleh
siapapun. Tanpa berpikir panjang aku mengajak dua cewek centil menemui
Fahlan, ketua perpustakaan yang cukup keren untuk seukuran anak kutu
buku. Dua cewek centil itu menunggu di luar perpus, sementara aku masuk
menemui Fahlan. “Aku ingin bicara denganmu sebentar, bisa?” tanyaku
tanpa basa-basi. Fahlan menoleh dan dia terkejut melihat aku di sini,
“Waw primadona SMA Gemilang, tidak kusangka kau ingin menemuiku dan
bicara denganku.” Ucapnya dengan lembut. Setelah sepuluh menit berlalu
dia tahu apa yang aku rasakan, dan dia akan mencoba untuk membantu
masalah yang aku hadapi tentang Gerald.
Ternyata kegelisahanku tentang Gerald yang butuh seorang teman
dirasakan juga oleh Willi. “Akhir-akhir ini kau seperti sedang
memikirkan sesuatu.” Tanya Willi tiba-tiba. “Tidak, aku hanya sedikit
pusing.” Jawabku berkilah. “Aku mengenalmu tidak sehari dua hari Syil,
sudah hampir tiga belas tahun. Aku tahu pasti apa yang kau rasakan
sekarang, hanya saja aku tidak tahu apa masalahnya.” Timpalnya. Obrolan
kami terhenti ketika mobil Willi memasuki gerbang sekolah. Dari arah
berlawanan kulihat Fahlan sedang asyik mengobrol dengan teman-temannya
dan juga Gerald, aku tidak menyangka akan secepat ini. Bagaimana Fahlan
melakukannya?
Sms diterima “Sama-sama Syaila, aku senang bisa membantumu. Dan
sekarang aku memiliki teman baru yang pikirannya sejalan denganku. Aku
juga sangat berterimakasih padamu.” Itu yang diucapkan Fahlan setelah
aku mengucapkan terimakasih lewat sms. Perasaanku sekarang sudah lebih
tenang. Tanpa kusadari sedari tadi dua sahabatku yang centil ini
memperhatikan tingkah lakuku yang senyum-senyum sendiri. “Tadi kau
begitu murung, sekarang keceriaanmu sudah pulih kembali. Apa yang
terjadi, kau tidak menceritakannya pada kami?” tanya Agnes penasaran.
“Apa?” tanya mereka ketika aku sudah menceritakan semua masalah Gerald.
“Bagaimana mungkin anak sekeren dia tidak memiliki teman, kau bercanda
Syil?” ungkap Zahra yang mulai ikut terbawa suasana. “Ya memang itu yang
terjadi, kalian tahu aku tidak pernah membohongi kalian kan?” jawabku
seraya membaca buku. Kini mereka mengerti bahwa tidak selamanya cowok
keren dan tampan memiliki banyak teman. Namun mereka masih tidak habis
pikir kenapa Gerald hanya bercerita padaku, kenapa tidak kepada mereka
atau yang lainnya.
Satu bulan telah berlalu. Kini kebahagiaanku semakin bertambah karena
Gerald sudah mulai menemukan titik kebahagiaannya sendiri. “Aku tahu
semua ini adalah perbuatanmu.” Ucap sebuah suara di belakangku. Tanpa
menoleh aku menjawab “Apa kau ingin mengucapkan terimakasih padaku?”.
“Tentu, ternyata kau benar-benar sangat populer di sekolah.” Jawabnya
tanpa basa-basi. Setelah aku duduk di sebuah bangku kayu sudah cukup tua
usianya diapun ikut duduk di sebelahku. Aku sudah tahu kalu dia Gerald,
dari gaya bicaranya sangat khas dan lembut.
Dia mengantarkanku pulang ke rumah, karena jarak antara taman kota
dan kompleks rumahku lumayan jauh. Willi yang melihatku bersama Gerald
langsung menghampiriku dan bertanya “Apa dia mengganggumu?”. “Kami tidak
sengaja bertemu di taman sewaktu aku sedang jogging, dan dia
mengantarkanku karena dia tahu aku tidak membawa kendaraan sendiri.”
Jawabku dengan polos. Gerald pun memohon pamit untuk menghindari
terjadinya permasalahan yang lebih besar dengan Willi. Ternyata dia
cukup dewasa, tanpa aku sadari aku mulai memikirkannya.
Weekend kali ini aku dijemput Gerald. Dia bilang ingin mengajakku ke
suatu tempat. Ini adalah kali pertama aku jalan dengannya. Sepanjang
perjalanan kami tidak banyak mengobrol, mungkin tidak ada bahan
pembicaraan atau bahkan kami sama-sama gugup. Setelah perjalanan yang
melelahkan akhirnya kami sampai di suatu tempat yang belum pernah aku
datangi sebelumnya. Tempat ini begitu indah dan sejuk, aku seperti telah
dibius oleh keindahan tempat ini sampai-sampai aku tidak memperdulikan
orang yang mengajakku kesini.
“Aku tahu kau akan menyukai tempat ini. Kau boleh datang kesini kapanpun
dan selama yang kau mau, aku akan memberikan kuncinya untukmu.” Ucap
Gerald yang membangunkan lamunanku. “Kenapa kau mengajakku kesini? Dan
kenapa juga kau ingin menyerahkan kunci tempat ini untukku, bukankah
seharusnya kau melakukan ini kepada orang yang benar-benar kau sayang?”
tanyaku bertubi-tubi. “ arena kau orangnya, Syaila. Sejak pertama kali
aku melihatmu aku sudah merasakan ada yang salah dengan perasaanku, dan
ketika kau menjawab semua pertanyaanku di perpustakaan waktu itu bukan
dengan ucapan melainkan dengan perbuatan, aku semakin yakin bahwa aku
telah jatuh cinta padamu.” Jawabnya dengan gamblang.
Sejak kejadian weekend kemarin, aku merasa canggung bila bertemu
Gerald. Pernyataan tentang perasannya begitu mendadak, aku bahkan tidak
sempat menjawabnya. Kumainkan sebuah kunci dengan gantungan boneka
dolpin kecil yang cantik, kunci pemberian Gerald yang entah kenapa ada
di tanganku. Sudah seminggu ini aku selalu memikirkannya,
kemisteriusannya membuatku semakin penasaran tentang bagaimana kehidupan
pribadinya. Pikiranku semakin kacau kala mengingat pernyataan perasaan
William kepadaku tiga belas tahun yang lalu, dan sampai sekarang pun
Willi masih menyimpan perasaan itu.
Aku terjebak di antara dua orang pria yang sangat berbeda perilaku
dan sifatnya, sebenarnya mereka mempunyai kesamaan yaitu sama-sama
mencintaiku. Tapi aku tidak bisa memilih karena cinta itu bukan soal
pilihan, hanya saja terkadang orang melakukan pilihan untuk menjadikan
semuanya mudah. Aku bukan tipe orang yang pemilih, karena semua hal
tentang hidupku telah ditentukan orangtuaku kecuali cinta tentunya.
Mereka pikir untuk masalah yang satu itu harus aku sendiri yang
menentukan, entah kenapa.
Ini sudah lima bulan berlalu dan sekarang aku dihadapkan dengan dua
orang pria yang hendak meminta pertanggungjawaban perasaan mereka
padaku. “Aku tidak bisa memilih di antara kalian, karena memang dari
awal pilihan ini tidak seharusnya ada. Aku sudah menganggapmu seperti
kakakku sendiri Willi, dan untuk kau Gerald aku tulus berteman
denganmu.” Kataku memecah kesunyian. “Lalu siapa nantinya yang akan
menjadi kekasihmu kalau bukan salah satu di antara kami?” Timpal Willi.
Dari arah pintu masuk seseorang yang sangat aku kenal wangi tubuhnya
masuk ke dalam rumahku. “Akulah nantinya yang akan menjadi bintang di
hati Syaila.” Jawab orang itu sambil duduk di dekatku.
“Perkenalkan ini Azka Immanuel Shan, calon pendamping hidupku.” Ujarku
menjelaskan. “Kau tidak pernah bercerita tentangnya padaku, bahkan aku
sama sekali tidak menyadari kehadirannya di hidupmu.” Ungkap Willi. Azka
menjelaskan semua awal mula pertemuan kami dan sampai kami mengucap
sebuah janji untuk bersama. Gerald hanya terdiam membisu, dan setelah
dia tahu semua dia langsung meninggalkan rumahku dengan tersenyum
simpul. Sedangkan Willi bisa menerima semua ini dengan lapang dada,
baginya yang terpenting untuknya adalah kebahagiaanku. Itulah yang aku
sukai dari Willi sebagai seorang teman bahkan sebagai seorang kakak.
Semenjak kelulusan sekolah diumumkan, aku tidak mendengar kabar
tentang Gerald. Dia seperti hilang di telan bumi. Pulang dari wisuda
sekolah aku langsung mengajak Willi ke tempat dimana Gerald menyatakan
perasaannya padaku. Namun tempat ini tak seindah saat pertama kali aku
kesini, keindahan tempat ini seperti ikut dibawa pergi olehnya. Tempat
ini dulu melukiskan tentang semua perasaan cintanya padaku dan sekarang
tempat ini juga masih melukiskan tentang semua perasaannya, meskipun itu
adalah kekecewaan dan kesedihannya. Aku berdo’a semoga dia mendapat
seseorang yang lebih baik dariku, amien…
NOTE: cinta bukan soal pilihan, karena cinta tak memilih untuk siapa dia akan berlabuh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar