Perasaan itu memang tak pernah dikehendaki, ya apalagi kedatangannya
hanya meninggalkan bekas pada lorong-lorong hati yang kini mulai
berdarah. Bukankah cinta itu menjanjikan kebahagiaan? Jawabannya tak
semudah yang dikata, memang susah dikata saat cinta berkata.
Harapan yang kini mulai pudar itu semakin teriris waktu, semakin
bergeser pada bayangan semu dan semakin meninggalkan keindahan yang
dijanjikan waktu. Tetapi sampai disanakah perjuangan itu terus
dilakukan? Harapan itu meninggalkan hati yang telah lama mencoba sabar,
sabar dan terus bersabar hanya untuk mendapatkan kepastian. Tapi
kenyataannya?
Kebersamaan yang telah berlalu bersama waktu seolah tercipta hanya
untuk menjadi kenangan saja. Kadang keluar suatu pikiran yang pada
akhirnya bermuara pada asa yang mulai melemah, apa yang harus dilakukan?
Sebut saja namanya Alfyari Lucia. Sebuah nama dengan panggilan yang
cukup sederhana. Ify. Namun tak dapat dipungkiri, meski nama itu indah,
tetap saja takdir tidak pernah menempatkan perjalanan hidupnya dalam
keindahan. Bukan takdir yang salah, dan bukan dirinya yang salah.
Sekalipun takdir salah, tetap saja tidak bisa dielakkan
Tatapannya masih mengarah lurus kepada seseorang yang sedang
berkumpul dengan sahabat-sahabat terdekatnya. Akhir-akhir ini orang yang
ditatapnya semakin jauh dari dirinya, lengang dari kebersamaan yang
meneteskan tawa setiap saat.
“Setiap kali aku melihatmu, mengapa harus senyuman itu terukir?
Mengapa bisa dia menjadi bagian dari kebahagiaanku?” Ucapnya lirih,
tatapannya semakin melemah hingga terpatri setitik air yang menggaris
pada ujung matanya. Begitu perihnya menatap seseorang yang tanpa
kepastian akan menatap dirinya dan menyadari tentang perasaan itu.
Setiap saat tatapannya menangkap sosok itu, yang tersisakan hanyalah
perih. Perih yang selalu menjalar di setiap waktu, sampai pada akhirnya
Ify tak bisa mengendalikan rasa itu. Yaa, rasa itu terlalu kuat
mengekangnya. Ify tak pernah lelah menyingkirkan setiap keperihan yang
ada, meski pada akhirnya dirinya pun semakin terbasuh perih itu.
“Saat ini yang kutahu pasti, aku lelah untuk menerima luka. Hati yang
selama ini kubiarkan menerima kesakitan itu gak mungkin bisa sekuat
dulu. Luka menyiraminya dan air mata yang menghiasnya. Aku lelah.”
Ucapnya dengan perlahan, seiring air mata yang membawa kesakitan itu
keluar dari batinnya akibat desakan yang begitu hebat.
“Sampai kapan kebahagiaan yang selalu kunanti akan datang? Dan kapan aku
akan bahagia bersamanya? Atau apa memang takdir gak pernah berkata
tentang aku dan dirinya?” Kembalilah ucapannya bergetar, takkan pernah
ada hentinya rasa itu mengalir seolah air yang terus mengikuti irama
waktu. Mengalir, mengalir dan selalu mengalir.
“Kamu gak akan pernah bisa bahagia sebelum ada tanda-tanda yang nyata
untukmu, semua yang kamu lakukan gak akan pernah melahirkan buah
kenyataan dari harapan yang kamu lakukan. Yang harus selalu kamu tahu,
kamu adalah seseorang yang gak pernah ada dalam pikirannya karena setiap
kali tatapannya beradu pada pantulan cahaya di ruang terbuka, di
situlah kamu hanya akan menjadi bayangan. Tidak mungkin kamu bisa
menjadi sesuatu yang kamu inginkan, dan dia pun gak mungkin menjadi
orang yang kamu inginkan.” Ucap seseorang dengan irama sendu.
Sepintas Ify mengedikkan kepalanya, di belakang telah berdiri tegap
seseorang yang selama ini selalu menjadi tumpahan air mata Ify,
seseorang yang selama ini selalu menerima keadaan Ify, seseorang yang
sudah merelakan waktunya hanya untuk mendengarkan ucapan-ucapan tulus
Ify yang kedengarannya memang klise.
“Kak Gabriel,” Buru-buru tangannya menyeka air mata yang sedari tadi
membentuk patahan-patahan kecil yang membentangi kedua pipinya. Butiran
bening itu selalu menjadi buah keikhlasannya. Selama ini jutaan tetesan
bening telah mengalir karena orang itu, iya seseorang yang tak pernah
menyempatkan dirinya untuk melihat, mendengar dan merasakan dalamnya
perasaan itu.
“Seberapa berharganya sih, Rio bagimu dan kenapa kamu hanya bisa ikhlas
di atas sakit yang selalu melumpuhkanmu, atau apa kamu pikir kesakitan
itu tanda awal kebahagiaanmu?” Tanyanya dengan sedikit penekanan,
mencoba membangunkan kesadaran Ify yang telah lama tertimbun keikhlasan
demi keikhlasan yang memakan rasa perih itu.
“Selama ini aku yang selalu ikhlas, aku yang selalu merelakan semuanya,
aku yang selalu membiarkan diri menahan sakit itu, dan aku yang selalu
berusaha mati-matian memperjuangkan perasaan ini. Tapi apa yang aku
dapatkan? Kenapa harus sakit, luka, perih? Kenapa harus selingan tiga
kata itu yang membuat aku lumpuh disini?” Ify memukul bahu Gabriel
sekencang-kencangnya, mencoba melampiaskan rasa sakit yang bisa Gabriel
rasakan sendiri.
Gabriel menatap Ify dengan kalut, merasakan perempuan itu tak seharusnya
berada pada posisi yang lemah seperti ini. Maka dari hatinya, tumbuh
tekad untuk menyadarkan sahabatnya sendiri. Rio, seseorang yang selalu
dinantikan kedatangannya.
“Aku gak pernah minta perasaan ini hadir, aku gak pernah minta sakit itu
datang dan menjadi bagian dari perasaanku. Tapi yang aku minta hanya
kebahagiaan, ya walaupun sesaat, kak.” Ify menekan dadanya, yang pada
waktu itu hanya ada kecamuk antara rindu dan pedih yang membelah
perasaannya.
Memang menyakitkan, sangat menyakitkan bahkan. Mengapa perasaan datang
di saat waktu yang tak diharapkan? Atau perasaan itu datang dengan
balasan, tetapi bukankah perasaan itu tak menjanjikan kebahagiaan? Dan
bukankah perasaan itu bukanlah awal tanda dari suatu kebahagiaan yang
akan mencapai titik keabadian?
Kebahagiaan itu sederhana, bukan? Cukup bisa menikmati kebersamaan
bersama orang yang sangat berarti saja bisa melahirkan kebahagiaan.
Tetapi untuk seseorang yang berarti… Tidak! Ify tidak membutuhkan
seseorang yang berarti, yang dibutuhkannya hanyalah seseorang yang bisa
membuat hidupnya lebih berarti.
“Kadang kebahagiaan yang sudah kita upayakan hanya menjadi kekecewaan
dan kadang air mata bisa merubah segalanya, yang pada akhirnya membuat
kebahagiaan terasa nyata.” Gabriel menghela nafas sekilas. “Mungkin kamu
harus terus sabar, kakak berpesan lebih baik kamu jauhi dia. Jauhi
seseorang yang belum pasti bisa buat kamu senang, yang gak pasti akan
membuat kamu senang dan selalu tersenyum.”
Saat itu, Ify hanya bisa membenamkan diri dalam dekapan kakaknya. Ify
tak kuasa untuk melihat lagi, dan ketegaran itu telah menipis. Suatu
saat, mungkin akan datang takdir yang akan mengakhiri semuanya. Ify
percaya akan itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar