Di bawah langit yang mulai redup, ketika senja hampir saja beranjak,
seseorang dengan keputusasaannya berdiri di atas pagar pendek pembatas
jembatan, ia berdiri mematung berpijak pada lempengan besi yang nyaris
berkarat. Pakaiannya lusuh dan lembab, matanya mengatup, kulitnya pucat.
Mulutnya berdesis, namun tak begitu jelas. Kedua tangannya membentang
membentuk garis lurus. Dari gelagatnya, sejurus terlihat kepahitan hidup
yang ia alami.
Tampaknya pemuda itu mulai menyerah, putus asa dan tak kuat hidup lebih
lama lagi. Dia membuat sedikit gerakan, hendak melompat ke dalam lembah
kecil yang riuh rendah oleh pepohonan. Namun tampak jelas di wajahnya
masih tersirat sedikit keraguan.
Tiba-tiba seorang gadis muncul di keheningan, dengan perlahan gadis
berpakaian hitam legam dan berambut terurai panjang itu mendekati pemuda
yang hendak mengakhiri hidupnya, hingga mereka berjarak kira-kira
semeter.
“Apa yang kamu lakukan di tempat ini?” gadis itu mulai mengeluarkan kata dari mulutnya, hingga membuatnya tersentak kaget.
“Siapa kamu?” ia balik bertanya.
“Apa yang ingin kamu lakukan di tempat ini?” Gadis itu kembali
menegaskan pertanyaannya, terlihat wajah gadis itu lebih pucat dari
sebelumnya.
“Bukan urusan kamu,” ucapnya gemetar.
“Aku tau ini bukan urusanku, tapi aku hanya berusaha. Apapun masalahmu,
jangan kamu lakukan hal bodoh itu. Ini bukan cara yang baik untukmu,”
ucap gadis itu dengan ekspresi wajahnya yang tetap datar.
“Aku nggak peduli kamu mau ngomong apa, tapi aku mohon menjauhlah
dariku, biarkan aku pergi dari dunia ini, biarkan aku meninggalkan
kekejaman hidup yang membekas dan tiada akhir ini.” Si pemuda gempar dan
mulai menitikkan tetes-tetes air mata.
“Kamu pikir dunia setelah kamu mati, akan lebih baik apa?” Si gadis
bertanya setengah berteriak, “dan kamu pikir Tuhan menyukai perbuatanmu
itu, heh?”
“Justru dengan aku mati, aku bisa bertemu dengan Tuhan dan menjelaskan
bahwa aku tidak bersalah, serta Tuhan akan menempatkan aku di tempat
yang lebih layak, lebih indah daripada dunia ini yang begitu mencekam.”
Si pemuda masih menangis, bahkan lebih deras dari yang sebelumnya.
Mata si gadis melotot padanya, “Sungguh ironis perkataanmu itu, Tuhan
tidak pernah menjanjikan seperti apa yang kamu katakan tadi.” Gadis itu
semakin geram padanya.
“Cukup!” pemuda itu mulai naik darah pada si gadis karena telah
menghalang-halangi niatnya, “aku nggak tau siapa kamu, kamu pun nggak
tau siapa aku. Jadi kamu nggak berhak melarang-larang aku. Asal kamu tau
ya…! Aku itu nggak lebih dari seorang yang teraniaya.”
“Aku nggak ngelarang kamu, aku cuma mengingatkan, asal kamu tau juga ya!
Kalau kamu sampai mati di tangan kamu sendiri, kamu akan lebih
menderita, lebih dari apa yang kamu rasakan sekarang,” papar si gadis
dengan nafas yang sedikit tersengal.
“Tau apa kamu tentang dunia setelah kematian, heh?” tanyanya sambil
menghentikan air mata yang bercucuran. Namun gadis itu hanya membisu,
diam seribu bahasa atas pertanyaan itu.
Lalu saat pemuda itu mengambil ancang-ancang untuk memulai aksinya, si
gadis menjerit histeris. Seakan-akan ia tak rela si pemuda merenggut
nyawa.
“Jangan lakukan itu…! Sungguh bukan aku yang melarangmu, karena
sesungguhnya Tuhan yang melarang perbuatan itu. Bunuh diri adalah
perbuatan tercela, Tuhan akan sangat membenci pada orang yang berputus
asa, kamu akan sangat menyesal.” Kali ini gadis itu yang mulai menangis
tersedu-sedu.
Ia menatap gadis itu yang mulai tersungkur, berlutut, dan terisak-isak.
Sejenak, pemuda itu hanya diam dan keheranan. Lalu entah apa yang ada di
pikirannya, pemuda itu mulai mengurungi niatnya, perlahan kakinya
menginjak lempengan besi yang lebih redah, dan tak lama pemuda itu turun
dari pagar dengan sempurna, namun lagi-lagi pemuda itu hanya diam, dan
menatap si gadis kaku.
Dengan perasaan gamang, pemuda itu perlahan menghampiri gadis yang masih terisak dan wajah yang tertutup oleh rambut panjangnya.
“Siapa kamu?” pemuda itu bertanya lirih, “kenapa kamu begitu peduli
terhadapku…? Kenapa kamu menangis…?” Namun hingga beberapa detik
kemudian, gadis itu tetap bergeming.
Karena ia penasaran, akhirnya tangannya tergerak, hendak menyentuh tubuh
pucat gadis itu. Ia sangat menyesal dan ingin berterima kasih. Namun
saat pemuda itu mencoba memegang bahu si gadis, ia hanya merasakan
adanya hawa dingin, ia hanya menerka angin, tak bisa menggapai tubuh si
gadis lalu tak lama tubuh itu mulai memudar, dan semakin memudar, serta
isakan tangis itu ikut lenyap, meninggalkan tanya. Pemuda itu
tercengang, karena sekarang di jembatan itu tak ada siapapun selain
dirinya.
Kemudian, cakrawala semakin gelap, diiringi nyanyian burung hantu yang menyeramkan.
—
Suasana di jembatan tua itu masih seperti biasa, sunyi, sepi, kelam
dan mencekam. Dari arah timur terpendar sinar mentari yang tertutup oleh
rerimbunan pohon. Sesekali burung melintas dengan sedikit enggan.
Tiba-tiba terdengar jeritan seorang anak perempuan yang semakin lama
suara itu semakin jelas, membuat keheningan pecah seketika. Kemudian
anak itu muncul dari kabut yang mulai menipis, sambil mengacak-acak
rambutnya, ia menjerit semakin menjadi-jadi.
Anak itu hendak melakukan hal yang serupa seperti yang dilakukan oleh
seorang pemuda tempo hari. Tanpa berpikir panjang dan bertele-tele anak
perempuan itu langsung menaiki pagar pembatas dengan lincahnya. Lalu
dengan cepat ia menghempaskan tubuhnya.
Namun gagal, anak itu tersangkut menggantung di tepi jembatan, tangan
anak perempuan itu ditangkap sesuatu, oleh tangan sesosok makhluk, yang
tak lain adalah gadis tempo hari, gadis misterius yang menggagalkan niat
buruk seorang pemuda. Gadis itu kembali datang dengan penuh
kemisteriusan.
“Lepaskan tanganku…” teriak anak perempuan itu, “lepaskan …”
“Kamu nggak boleh mati Dik, ayo naik…” ia mulai membujuk anak itu supaya lekas naik.
“Aku nggak mau hidup, aku mau mati, lepaskan tanganku…” anak itu
menerjal-nerjal bahkan memukuli tangannya, supaya anak itu cepat
meluncur dan menjemput kematiannya.
“Aku mohon Dik, naiklah!, kamu nggak boleh melakukan itu!” ia membujuk tanpa lelah.
“Lepaskan aku, lepaskan aku…,” anak itu mulai berteriak, namun tangan
pucatnya semakin erat memeganginya, sampai-sampai urat di tangannya
timbul, seumpama akar serabut. Lalu dengan sekuat tenaga si gadis itu
mengangkat tubuh anak itu yang semakin gencar meronta-ronta.
Dan entah mengapa anak perempuan itu berhasil diselamatkan dan keduanya hanya mematung, gadis itu menatapnya dalam.
“Kenapa kamu lakukan itu…?” Ia membentak pada anak perempuan yang tengah menangis itu.
“Terserah aku mau ngapain,” anak itu balas membentak sembari masih sesenggukan, “kenapa kamu menghalangi aku?”
“Kamu nggak boleh mengubah takdir Tuhan. Kamu masih kecil, masih ada
peluang untuk hidup lebih lama lagi. Jangan sia-siakan waktu. Biarkan
dirimu lebih memaknai hidup ini.” Kata gadis itu dengan muka yang
semakin menyeramkan.
“Aku udah nggak kuat lagi hidup, percuma aku hidup lebih lama lagi.
Penyakitku semakin kronis, aku nggak pernah menemukan ujung, tak pernah
sembuh tapi susah untuk mati.” Anak perempuan itu sedikt mencurahkan isi
hatinya, dengan ratapan yang semakin deras.
“Aku ngerti, berdoalah dan bersabarlah, bukan bunuh diri seperti yang
mau kamu lakukan tadi. Tuhan tidak akan memberi cobaan melebihi batas
kemampuan hamba-Nya. Jangan kamu lakukan hal itu lagi ya …!”
Anak itu lama terdiam sampai akhirnya beranjak, berlari. Ketika anak itu
pergi menjauh, gadis itu mulai memudar dan lenyap, menyatu dengan
semilir angin. Dan kesunyian pun mulai menyergap lagi.
Lagi-lagi gadis misterius itu menyelamatkan nyawa.
—
Jembatan itu sering disebut Jembatan Kawung, karena banyak ditemui
pohon enau. Merupakan penghubung antara Desa Sekar Alit dengan kampung
Cibarihol, yang digunakan penduduk untuk melakukan aktifitas
sehari-hari. Tapi sejak kebakaran besar di Desa Sekar Alit, hampir semua
penduduk tewas dan tak ada lagi yang mau singgah di tempat itu. Sampai
akhirnya jembatan itu mulai diabaikan.
Jembatan Kawung terletak tak jauh dari rumah sakit kecil yang digunakan
penduduk Kampung Cibarihol. Itu sebabnya kerap kali ada saja orang, juga
merupakan pasien Rumah Sakit, yang mencoba bunuh diri, berputus asa
karena penyakitnya.
Suasana di Jembatan Kawung selalu sepi karena hawa anker selalu
menyengat. Pada pagi itu, atmosfer masih berselimut embun. Tak sedikit
pun terlihat tanda-tanda adanya orang berputus asa (syukurlah).
Tiba-tiba sesosok makhluk muncul, entah dari mana asalnya. Kemudian
melayang rendah tanpa pijakan, semakin lama wajah sosok itu semakin
jelas terlihat, ya, dia adalah gadis tempo hari.
Matanya menatap kekosongan, bibirnya putih nyaris menyatu dengan warna
kulit wajahnya yang pucat pasi. Gadis itu cantik, tapi menyeramkan,
namun dirinya berjiwa patriot. Telah menyelamatkan dua nyawa yang hendak
bunuh diri, bahkan mungkin lebih banyak nyawa lagi.
Dia berhenti di tengah-tengah jembatan dan berhenti di tepi pagar
pembatas, masih tanpa pijakan. Hatiku ingin sekali mengenalinya. Dan aku
tergerak menghampirinya dari belakang. Karena diriku didera penasaran
yang begitu mendalam padanya.
“Mau apa kamu kesini…?” Dia menyadari kehadiranku, namun tanpa menoleh, padahal aku datang nyaris tak menimbulkan bunyi.
“Aku bukan untuk bunuh diri…” ucapku lirih.
“Aku tahu itu, auramu beda, siapa kamu?”
“Aku Ardi, lantas siapa namamu?” kucoba agar tetap lembut padanya, karena aku rasa dia makhluk yang sensitif.
“Itu nggak penting buat kamu.” Dia masih menanggapiku dengan sombong, picik sekali dia tak mau beritahu namanya.
“Aku cuma ingin jadi temanmu Nona.”
“Namaku bukan Nona.” Setengah berteriak, lalu akhirnya dia berbalik badan ke arahku, kulihat wajahnya penuh luka.
“Maaf aku nggak bermaksud…”
“Sudahlah, aku memang makhluk sial, aku menyesal…” gadis tanpa nama itu
menjerit lalu melompat ke bawah. Sontak kupegangi tangannya. Namun,
tangannya serta tubuhnya hampa, mulai memudar dan lenyap.
—
Aku mencium bau bangkai, bau anyir darah yang membusuk, yaa… aku
yakin ini bangkai manusia. Tiba-tiba kulihat beberapa orang bergegas
naik dari jurang rendah bawah jembatan, mereka membawa sesosok mayat
kaku berlumuran darah yang telah membeku, tampak di beberapa bagian
tubuhnya bermunculan belatung. Dan itu membuat hidungku tidak bersahabat
dengan hawa, karena bau busuk semakin menyengat.
Kulihat wajahnya hancur sekali, tetapi aku tetap dapat mengenalinya, ya…
dia adalah gadis tanpa nama itu, aku menatapnya gemetar.
“Aku bunuh diri, aku melakukannya karena aku merasa aku tidak pantas
lagi untuk hidup, kehidapnku terlalu hancur semenjak orangtuaku bercerai
dan aku mengidap lupus menahun, tapi aku menyesalinya sekarang.”
terdengar suara seseorang tepat di belakangku yang tak lain adalah gadis
penuh misteri itu.
“Apa…?” aku terkaget-kaget mendengar ucapannya, kulihat dia hanya
sesosok bayangan yang nyaris semu, tatapannya masih terlihat kosong.
“Aku tidak ingin orang lain merasakan hal yang serupa seperti aku,” dia menitikan air mata yang juga hanya bayang semu.
“Aku harap Tuhan memaafkanmu.” Kucoba memberinya semangat, aku tak tega melihatnya menangis.
“Nggak… nggak ada lagi maaf untukku. Tuhan akan memaafkanku jika aku
masih hidup. Tetapi sekarang sudah terlambat.” kurasakan tangisannya
semakin menyeruak.
“Aku akan tetap mendoakanmu supaya Tuhan bisa memaafkanmu.”
Dia tersenyum kecut. Seperti biasa dia mulai memudar, memudar hingga akhirnya menyatu dengan udara.
—
Jembatan Kawung, kau seakan-akan adalah pengaduan, tempat curahan
hati, seorang psikiater. Seakan-akan kau adalah jalan menuju Tuhan.
Aku bisa merasakan apa yang dirasakan oleh gadis itu. Betapa menyesalnya dia.
Kini jembatan Kawung masih sepi, dan akan menjadi sejarah untuk masa
depan, aku harap kau tak menyedot korban lebih banyak lagi. Maafkan aku
karena aku tak bisa melakukan apapun untukmu, sungguh aku akan
merindukanmu.
Ini mungkin waktunya, saatnya aku pergi. Kurasakan tubuhku mulai
memudar. Aku tidak akan bunuh diri, karena buat apa…? Toh sekarang aku
hanya bayang semu seperti gadis itu. Namun tubuhku kutinggalakan bersama
kebakaran tragis Desa Sekar Alit.
Bukan Menjadi Korban Tragedi Bunuh Diri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar