Hari itu merupakan hari pengumuman kelulusan bagi anak-anak kelas 3
SMP. Hari yang sangat ditunggu-tunggu oleh setiap anak. Begitu pula
denganku. Aku tidak sabar menunggu detik-detik pengumuman itu. Hatiku
berdebar-debar saat mendengar siapa saja nama yang dinyatakan lulus.
Satu persatu nama disebutkan. Semua yang dinyatakan lulus merasakan satu
perasaan. Bahagia.
Nama yang disebutkan sudah semakin banyak. Aku berdoa. Semoga saja
aku dapat lulus. Doaku terkabul. Namaku disebutkan. Mikha Elisa Putri.
Aku lega. Kekhawatiranku perlahan menghilang dan diganti dengan perasaan
senang. Aku tidak sabar untuk pulang dan memberitahukannya pada mama
dan papa. Hari ini memang mama dan papa tidak bisa menemaniku ke
sekolah. Tapi, itu tidak menjadi masalah bagiku. Melihat wajah mereka
yang berseri senang karena tahu aku telah lulus SMP sudah cukup bagiku.
Namun, yang kutemukan berbeda dengan apa yang diharapkanku.
Aku merasa heran ketika melihat banyak bendera kuning dipasang di
pagar rumahku. Rasa heranku pun bertambah ketika melihat banyak orang di
rumahku. Sebagian besar dari mereka merupakan keluargaku. Semuanya
berpakaian hitam. Ada juga yang berwarna putih. Aku merinding ketika
melihat tante Ratih, adik papa keluar dari rumah sambil menangis. Ketika
melihatku, ia segera berlari dan memelukku. Firasatku mengatakan ada
yang aneh. Ketika tante Ratih sudah sedikit tenang, ia lalu melepaskan
pelukannya. Aku segera masuk ke dalam rumah. Dan hal yang tak pernah
kubayangkan hadir di depan mataku. Aku melihat papa terbaring kaku di
atas tikar. Di sampingnya, kulihat mama sedang menangis. Tak jauh dari
sana, kulihat sebuah peti mati. Satu kalimat melintas di pikiranku. Papa
sudah tiada. Papa sudah meninggal.
Badanku lemas. Tak terasa air mataku menetes. Tak pernah terbayangkan
olehku, aku akan mengalami ini semua. Dalam mimpi pun tidak pernah. Aku
menangis. Ini adalah suatu kesedihan terbesar yang pernah kualami. Mama
segera datang memelukku. Dalam pelukannya, aku menumpahkan semua
kesedihanku. Semua air mataku. Satu persatu kenangan bersama papa
terbayang dalam ingatanku seperti sebuah film slide. Perlahan-lahan
pandangan mataku menjadi kabur. Semakin lama semakin gelap. Setelah itu,
aku tidak ingat apa-apa lagi. Hanya kenangan bersama papa yang
menemaniku.
Aku ingat ketika hari ulang tahunku yang ke 5. Saat itu, papa
berjanji akan mengajakku ke Disney Land. Tapi, tiba-tiba saja di kantor
papa diadakan rapat penting. Dan papa tidak jadi mengajakku ke sana. Aku
sedih. Aku kecewa. Itulah pertama kalinya aku merasa kecewa terhadap
papa.
“Papa jahat! Papa kan sudah janji mau mengajak Mikha ke Disney Land. Kenapa tidak jadi?” Kataku di sela-sela tangisku.
“Mikha sayang, kamu jangan marah sama papa, dong. Papa kan tidak bisa
pergi karena ada alasannya. Lain kali pasti papa mengajak Mikha ke
sana.” Bujuk mama padaku. Tapi aku tidak mendengar apapun yang diucapkan
mama. Aku menganggap mama juga sama seperti papa. Sama-sama berbohong
padaku. Tapi ternyata tidak. Satu minggu kemudian, papa benar-benar
mengajakku ke Disney Land. Kata papa, ini merupakan pengganti hadiah
ulang tahunku. Aku sangat senang. Aku menganggap kalau hari itu masih
merupakan hari ulang tahunku. Walaupun sebenarnya hari ulang tahunku
sudah lewat seminggu.
Pada hari pertama aku masuk SD, papa yang mengantarku karena mama
sedang sakit dan harus dirawat di rumah sakit. Papa juga yang mengucir
rambutku dan mendandaniku. Walaupun, akhirnya aku terlihat seperti
ondel-ondel. Akhirnya, aku didandani ulang oleh mbok Itun, pembantu di
rumahku. Ketika sudah sampai di sekolah, aku selalu berada di dekat
papa. Aku tidak mau jauh-jauh dari papa. Aku takut pada teman-temanku,
karena tubuh mereka rata-rata lebih besar daripadaku. Bahkan, sampai
waktunya untuk masuk ke kelas juga aku tidak berani. Papa sampai harus
menemaniku belajar di dalam kelas. Bayangkan saja, papa yang sebesar itu
harus duduk di bangku anak SD yang ukurannya lumayan kecil. Guru-guruku
sampai tersenyum geli melihat papa yang harus duduk di kursi sekecil
itu dan menemaniku belajar. Akhirnya, mereka mengambilkan kursi lain
untuk papa.
Kenangan lainnya tentang papa adalah saat aku sakit. Malam itu,
tubuhku menggigil hebat dan suhu tubuhku sangat tinggi. Di luar sedang
turun hujan lebat dan mobil kami dua-duanya sedang di bengkel untuk
diservis. Papa dan mama berusaha mencari taksi ataupun kendaraan umum
lainnya. Tapi, malam itu hujan turun dengan lebatnya sampai-sampai
sebagian kota Jakarta mengalami banjir, sehingga taksi maupun kendaraan
umum lainnya tidak ada yang lewat. Pada saat mama dan papa sedang
bingung mencari kendaraan untuk mengantarku ke rumah sakit, tiba-tiba
muncul sebuah becak. Papa segera menghentikan tukang becak tersebut.
“Eh, stop, stop, stop…!” Kata papa sambil menghadang tukang becak itu. Tukang becak itu segera menghentikan becaknya.
“Ada apa, pak?” Tanya tukang becak itu bingung.
“Pak, tolong saya, pak. Anak saya sedang sakit. Saya tidak punya
kendaraan untuk mengantar anak saya ke rumah sakit. Bapak mau mengantar
saya ke rumah sakit?” Tanya papa pada tukang becak itu. Tukang becak itu
berpikir sebentar, lalu ia menggelengkan kepalanya.
“Maaf, pak. Tapi, jalanan sedang banjir dan jarak rumah sakit juga jauh.
Saya saja tidak kuat membawa becak saya.” Kata tukang becak itu pada
papa.
“Kalau bapak tidak sanggup, biar saya saja yang bawa. Biar becak bapak
saya sewa untuk malam ini. Bapak bisa menunggu saya di rumah saya. Kalau
bapak mau pulang ke rumah bapak, ini saya kasih kartu nama saya. Bapak
bisa menghubungi saya nanti. Ini uang untuk menyewa becak bapak. Kalau
kurang, nanti baru bapak bilang ke saya.” Kata papa sambil mengeluarkan
kartu nama dan uang RP.500.000 dari dompet dan memberikannya pada tukang
becak itu. Tukang becak itu diam sebentar. Ia kelihatan ragu. Tapi,
melihat wajah papa yang serius, ia lalu mengambil uang dan kartu nama
tersebut. Papa lalu menyuruh mama menggendongku dan naik ke atas becak,
sedangkan papa yang mengayuhnya. Bayangkan saja, papa harus mengayuh
becak yang ditumpangi mama dan aku sendirian. Belum lagi harus menempuh
jarak yang lumayan jauh dan pada saat itu, jalan menuju rumah sakit juga
sedang banjir. Tapi, papa berhasil mengantar aku dan mama ke rumah
sakit. Sesampainya di sana, papa segera menggendongku dan membawaku ke
ruang perawatan. Aku harus dirawat di rumah sakit selama tiga hari.
Selama tiga hari itu, mama dan papa menemaniku di rumah sakit.
Kadang-kadang, hanya papa yang menjagaku karena mama mudah lelah. Itu
merupakan salah satu pengorbanan papa untukku. Aku sangat berterima
kasih pada Tuhan karena telah memberikan papa yang sangat mencintai dan
menyayangiku.
Aku tersadar ketika merasakan ada seseorang yang mengelus-ngelus
rambutku. Aku membuka mataku perlahan. Kulihat sesosok wanita paruh baya
di depanku. Tante Ratih. Ia menatapku dengan tatapan sendu. Aku melihat
di sekelilingku. Ini kamarku. Aku tidak tahu kenapa aku bisa berada di
kamarku. Seingatku, tadi aku sedang berada di ruang tamu. Sedang
menangis bersama mama. Lalu aku teringat pada papa. Aku lalu kembali
menangis. Aku mengambil sebuah foto. Di dalamnya terdapat foto aku,
mama, dan papa. Itu merupakan foto pada saat kami sedang berlibur ke
Hawai setahun yang lalu. Di foto itu, wajah papa terlihat sangat cerah.
Ia memakai baju berwarna ungu cerah yang sama dengan baju yang aku dan
mama kenakan. Itu merupakan liburan paling menyenangkan buatku, dan juga
liburan terakhir kami bersama-sama. Aku masih tidak menyangka itu akan
menjadi iburan terakhir kami bersama-sama. Aku masih mengingat dengan
jelas bagaimana debur ombak di pantai, cahaya matahari pada saat terbit
dan terbenam, dan juga burung-burung camar yang beterbangan di atas
laut. Aku juga masih mengingat saat papa dan aku naik bananaboat
bersama-sama. Aku sangat senang pada waktu itu.
“Bagaimana? Kamu senang dengan liburan kali ini?” Tanya papa sehari
sebelum kepulangan kami kembali ke Indonesia. Aku mengangguk sambil
tersenyum.
“Iya, pa. Mikha senang banget bisa liburan ke Hawai sama mama dan papa.”
Kataku bersemangat. Papa hanya tersenyum melihatku. “Kapan kita bisa
liburan ke sini lagi, pa?” Tanyaku pada papa.
“Kalau Mikha mau, kita bisa ke sini lagi tahun depan. Tapi, itu kalau
Mikha bisa lulus SMP dengan nilai yang baik. Bagaimana? Setuju?” Tanya
papa padaku. Aku merasa senang mendengarnya. Sejak saat itu, aku mulai
belajar mati-matian agar dapat pergi lagi ke Hawai. Pada saat aku telah
berhasil mendapatkan itu semua, papa sudah tiada. Dan ini membuat aku
bertambah merasa sedih. Tiba-tiba saja, muncul sebuah pertanyaan di
kepalaku. Apa penyebab kematian papa? Kenapa papa bisa meninggal? Aku
harus menanyakannya. Pada mama, pada tante Ratih, atau pada siapapun.
Orang yang bisa memberikan jawaban padaku.
“Tante, Mikha mau tanya satu hal sama tante.” Kataku pada tante Ratih.
“Kamu mau tanya apa, sayang?” Tanya tante. Aku menarik napas. Berusaha
mengambil ancang-ancang. Aku sudah bersiap untuk mengetahui semuanya.
“Tante, apa sebenarnya penyebab kematian papa?” Tanyaku hati-hati. Tante
Ratih terlihat sedikit kaget. Tapi, ia berusaha untuk tidak
menunjukkannya padaku.
“Mikha, tante juga tidak tahu pasti mengenai kematian papa kamu. Tapi,
kalau menurut cerita mama kamu… papa kamu meninggal karena ia… mengidap
tumor otak…” Kata Tante Ratih perlahan. Aku terkejut mendengar
penjelasannya. Samar-samar kulihat air mata mulai menggenangi mata tante
Ratih. Aku tidak bisa percaya akan ini semua. Papa yang selama ini
selalu terlihat sehat, ternyata mengidap tumor. Penyakit berbahaya yang
sangat ditakuti oleh semua orang. Dan tidak ada seorangpun yang
mengetahuinya.
Papa menyimpan semuanya seorang diri. Ia berjuang melawan penyakit
ini tanpa seorangpun tahu. Ia selalu tersenyum di depanku, di depan
mama, di depan kami semua. Tapi, di balik itu semua, ia menyimpan
penderitaan yang tak bisa dibayangkan. Hatiku sakit bagaikan teriris
seribu sembilu. Aku marah. Marah pada papa karena tidak pernah
memberitahu kami tentang penyakitnya. Marah pada diriku sendiri yang
tidak tahu tentang penyakit papa. Marah pada Tuhan karena memberikan
papa penyakit itu. Aku marah pada dunia karena telah meninggalkan papa
seorang diri. Aku marah pada semuanya. Aku merasa dihempaskan ke jurang
tak berdasar. Di hantam badai yang takkan pernah berlalu. Aku menangis,
aku berteriak, aku memohon pada Tuhan. Aku mohon Tuhan mengembalikan
papa. Bahkan, aku rela menukar nyawaku dengan papa. Namun, itu sia-sia.
Sekeras apapun aku berteriak, selembut apapun aku memohon, papa tidak
akan pernah kembali. Papa tidak akan hidup lagi. Tante Ratih berusaha
menenangkanku. Ia berkata kalau ini semua sudah takdir dari yang kuasa.
Tapi aku tidak dapat menerimanya. Kata guru agamaku, Tuhan sayang pada
orang yang sayang pada anak-anak. Kalau begitu, kenapa Tuhan mengambil
papa? Padahal papa sayang padaku. Sayang pada anaknya. Kenapa harus
papaku yang diambil? Kenapa? Hatiku bertanya sambil menjerit pilu.
“Tante, papa ada di mana? Mikha mau lihat papa.” Kataku sambil menahan isak tangis.
“Papa masih ada di bawah. Tapi, sebentar lagi mau dimakamkan.” Kata tante Ratih menghapus air matanya.
“Mikha mau lihat papa, tante. Mikha mau lihat papa.”
“Ya sudah, ayo tante antar kamu ke bawah.” Kata tante Ratih sambil
membimbingku ke bawah. Aku sangat lemah untuk berjalan. Bahkan,
memikirkan bagaimana cara berjalan saja aku tidak sanggup.
Setelah sampai di bawah, mama segera menghampiriku. Ia mencium
keningku dan berkata semuanya akan baik-baik saja. Aku mengangguk dan
mama membantuku berjalan menuju peti papa. Aku ingin melihat papa untuk
terakhir kalinya. Saat sampai di depan peti mati papa, air mataku
kembali bergulir. Aku tak tahan. Aku kembali menangis.
“Papa, kenapa papa ninggalin Mikha? Kenapa papa ninggalin Mikha sama
mama? Kenapa papa?” Kataku di sela-sela tangisku. Mama kembali memelukku
dan menenangkanku. Tapi, kali ini aku sudah tidak bisa membendung
semuanya. Aku masih tidak percaya kalau papa sudah tiada. Padahal, tadi
malam papa masih sempat masuk ke kamarku dan mengucapkan selamat malam
kepadaku. Malam itu papa terlihat sangat sehat.
“Papa, katanya papa mau mengajak Mikha liburan ke Hawai lagi kalau Mikha
lulus, kan? Gimana kita bisa ke sana kalau papa ninggalin Mikha? Bangun
papa…! Bangun…!” Kataku semakin histeris. Mama dan tante Ratih kembali
menenangkanku. Aku sedikit tenang ketika mama memeluk dan menepuk-nepuk
punggungku. Hal yang sering dilakukan mama pada saat aku sedih.
Kami lalu bersiap untuk menuju ke tempat pemakaman. Aku dan mama naik
mobil AMBULANCE yang memuat peti mati papa. Setelah sampai di sana,
kami semua segera turun dan menuju tempat yang telah disediakan untuk
mengubur papa. Acara pemakaman berlangsung khidmat diiringi dengan doa
dan tangis untuk papa. Sesaat sebelum peti papa dimasukkan ke liang
kubur, aku kembali menangis histeris sambil memanggil-manggil papa.
“Papa…! Papa…! Papa jangan ninggalin Mikha. Mikha tidak mau kehilangan
papa. Mikha sayang sama papa. Papa…! Kenapa papa harus pergi secepat
ini? Papa kan belum lihat Mikha masuk SMA. Mikha mau papa yang mengantar
Mikha ke sekolah. Mikha juga belum bahagiakan papa. Mikha belum
membalas semua yang papa lakukan buat Mikha. Mikha mau papa yang
menemani Mikha saat nikah nanti. Mikha Mohon, papa jangan pergi…!
Jangan, papa…!” Teriakku sambil meronta-ronta. Aku hampir masuk ke liang
kubur kalau saja tidak ditahan oleh mama dan beberapa orang yang ada di
situ.
Setelah kepergian papa, hari-hariku terasa semakin kelabu. Aku masih
sering menangis bila mengingat papa. Aku menangis saat bangun tidur,
saat makan, saat pergi dan pulang sekolah, dan saat hendak tidur. Mama
juga masih sangat sedih. Namun, kesedihannya itu tidak ditunjukkannya
padaku. Karena sering menangis, kurang makan dan kurang tidur, aku jatuh
sakit. Aku harus dirawat di rumah sakit. Karena keadaanku semakin
parah, aku sempat koma. Aku tidak sadarkan diri selama tiga hari. Selama
itu, aku bermimpi sedang bermain di taman yang sangat indah. Taman itu
dipenuhi bunga-bunga indah dan kupu-kupu yang cantik. Di tempat ini, aku
dapat melupakan semua kesedihanku. Saat aku sedang bermain-main, aku
melihat sesosok laki-laki yang ku kenal. Aku menghampirinya.
Kuperhatikan wajahnya baik-baik. Ternyata itu papa. Aku sangat senang
dapat bertemu lagi bersama papa. Aku segera memeluknya. Papa juga
memelukku. Dalam pelukannya, aku merasa sangat damai. Aku merasa aman.
Aku tidak merasa kesepian lagi.
“Papa, Mikha senang sekali bisa ketemu sama papa. Mikha kangen sama
papa. Papa jangan pergi kemana-mana lagi ya, pa? Ayo kita pulang. Mama
pasti senang karena papa bisa pulang.” Kataku pada papa.
“Mikha, papa juga senang bisa ketemu Mikha lagi. Tapi, papa tidak bisa
kembali ke rumah. Tempat papa adalah di sini.” Kata papa lembut sambil
membelai rambutku. Mendengar itu aku menjadi kecewa. Aku marah. Aku
ingin protes. Tapi aku sadar, memang di sinilah tempat papa yang
seharusnya.
“Kalau itu mau papa, tidak apa-apa. Tapi, Mikha mau terus bersama papa.
Mikha mau di sini bersama papa. Boleh ya, pa?” Pintaku pada papa. Papa
lalu menggelengkan kepalanya.
“Tidak bisa Mikha. Tempat Mikha bukan di sini. Tempat Mikha adalah di
dunia bersama mama. Kalau Mikha di sini, nanti siapa yang menjaga mama?”
“Kalau ini bukan di dunia, berarti ini di mana? Ini di surga ya, pa? Papa tinggal di surga?”
“Bukan Mikha. Ini bukan surga. Ini memang seperti surga, tapi berbeda. Papa belum bisa pergi ke surga.”
“Kenapa papa tidak bisa ke surga? Papa kan orang baik. Papa juga sayang
sama anak-anak. Seharusnya papa berada di surga. Seharusnya papa bersama
Tuhan.”
“Papa belum bisa pergi ke surga, sayang. Itu semua karena Mikha belum
merelakan papa pergi. Mikha masih sering menangis, kan? Kalau Mikha
terus seperti itu, papa belum bisa pergi ke surga.”
“Jadi, papa tidak bisa pergi ke surga karena Mikha? Karena Mikha sering
menangis? Kalau begitu, Mikha tidak akan menangis lagi. Mikha akan
selalu tersenyum. Supaya papa bisa sampai ke surga.” Janjiku pada papa.
Papa hanya tersenyum. Perlahan papa mulai menghilang. Akhirnya papa
menghilang seutuhnya. Aku ingin menangis, tapi kutahan. Aku sudah
berjanji pada papa kalau aku tidak akan pernah menangis. Aku ingin papa
cepat sampai ke surga. Aku ingin papa bahagia bersama Tuhan. Selamat
jalan papa. Semoga papa bisa diterima di samping Tuhan. Mikha selalu
menyayangi papa.
Perlahan aku membuka mataku. Kulihat mama tertidur di sampingku. Aku
mengelus wajah mama. Mama terkejut. Ia lalu membuka matanya. Ia terlihat
sangat senang. Ia lalu memeluk dan menciumku.
“Ma, tadi Mikha mimpi ketemu papa. Kata papa, papa belum bisa sampai ke
surga karena Mikha selalu menangis. Mikha belum bisa merelakan kepergian
papa. Karena itu, Mikha minta mama juga jangan menangis lagi ya, ma…
Mikha juga tidak akan menangis lagi. Tapi Mikha akan selalu tersenyum
untuk papa.” Kataku pada mama. Mama mengangguk pelan dan menghapus air
matanya.
Dua hari kemudian, aku sudah diperbolehkan pulang oleh dokter.
Setelah pulang dari rumah sakit, mama segera mengajakku masuk ke kamar
mama dan papa. Di dalam kamar, aku dan mama berdoa pada Tuhan. Kami
memohon agar papa dapat diterima oleh Tuhan. Aku juga memohon Tuhan
mengirimkan tanda pada kami apabila papa sudah sampai di surga. Keesokan
harinya, kulihat pelangi yang sangat indah. Aku menganggapnya sebagai
tanda dari Tuhan. Aku segera berdoa mengucapkan terima kasih pada Tuhan,
karena telah menerima papa di sampingNya. Di dalam doaku, aku berkata
“Tuhan, titip salam rindu untuk papa yang ada di sampingMu…”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar