Sebuah cerita bermakna
Yang ingin ku tulis
Bukanlah sebuah mimpi
Yang terbang melayang
Hanya di atas angan-angan
Rasa sepi di tengah keramaiaan ini
Buat ku tau apakah aku bisa
Menggapai dengan kelebihan ini
Ku lakukan karena satu “Tuhan Maha Tahu”
Tetes embun yang mengalir mengayun di dedaunan, membangunkan ku saat
sinar sang fajar merambat di sela-sela jendela kamarku, ku coba membuat
tubuh ini terbangun dan merasakan indahnya mentari hari ini, Nanda itu
nama ku, gadis manis yang mencoba mengubah sebuah kekurangan menjadi
satu yaitu keajaiban yang akan membawa ku menjadi pribadi yang tangguh,
ku coba gerakkan tulang-tulang ini yang mulai rapuh termakan waktu, tapi
aku percaya bukan waktu yang akan melenyapkan impianku menjadi pemain
balet nasional. balet olahraga yang membuat ku bisa merasakan indahnya
nada-nada tenang yang tak kutemukan di setiap aktivitasku, ku bangkit
dan berjalan tertatih melewati setiap jengkal anak tangga yang mulai
bergoyang di mata ku, satu tujuan ku pagi ini melihat sejuk indahnya
pagi ini dan mendegar kicauan burung yang bernyanyi, ku berjalan menuju
kursi kayu tua yang berdiri tegak di ujung halaman rumah ku terlihat
ibuku memetik beberapa cabe hijau yang mungkin kan tertata rapi di meja
makan.
Duduk beberapa menit di sini membuat tulangku berdenyut sakit,
sebelum ku tak biasa bangkit ku coba kuatkan kaki ku dan mulai berjalan
ke tempat dimana cabe-cabe dan beberapa menu pagi ditata rapi di atas
sebuah corak kotak yang seumur dengan tangga reot tadi. “Nanda… cepat ke
sini”, ibuku berteriak, Aku kaget mendengar suara ibuku, aku berlari
kecil dan mencoba lebih cepat sampai ruang makan, aku duduk di samping
ibuku, suasana ini telah ku lewati selama lima tahun semenjak ayah
tiada, menu biasa yang menghiasi meja ini tempe tahu dan sambal yang
dihiasi cabe segar tadi
Watashi wa Nanda desu, ku perkenalkan diriku di tengah pelajaran
bahasa jepang sensei Kurosaki, tetapi kedua mata ini tetap menatap tajam
ke ujung ruangan dimana dia duduk dan terlihat sibuk dengan Shoudo yang
membuat tangan ini gemetar, lima menit lagi pelajaran ini tergantikan
oleh canda dan tawa siswa di sini, ku begegas merapikan buku-buku, ku
berjalan bukan ke tempat dimana anak-anak berkumpul, aku memilih menuju
ruang balet di ujung koridor sekolahku dimana dulu aku biasa menari
“Nanda… kemarilah” Nia memanggilku, Nia temanku yang dulu satu tim
dengan ku, aku duduk di bawah alas karet tempat anak-anak menari indah,
bersama Nia sambil melihat teman-teman ku memulai permainan “Nanda ayo
kita ikut latihan”, Nia mencoba membujukku untuk ikut menari dengan
mereka, dan akhirnya aku menggerakkan badan ku, kira-kira setengah jam
aku menari, mata ku mulai tak setajam tadi lagi, aku berlari dan mencoba
melakukan gerakan berputar, aku melompat dengan menggerakkan seluruh
ototku, aku menari dengan semangat dan Nia berkata, “Nanda… Nanda…
Nanda”, kakiku tak biasa gerak dan kaku aku mendarat dengan kerasnya
membenturkan punggungku ke ubin di pojok ruangan, suasana seakan berubah
aku tak lagi dapat merasakan tubuh ku, mata ku terlelap saat ku
mendengar sirine mengaung di udara, detik demi detik berlalu dan mataku
mulai dapat menyentuh secercah cahaya, ku mendengar sayup-sayup suara
ibu ku yang kelihatannya berbicara dengan dokter, beberapa menit
kemudian mata ku sudah dapat melihat kembali indah dunia ini, ibu ku
menghampiriku dengan bekas air mata di matanya.
Satu bulan kurasakan makanan yang tak sedap dan hambar itu, bosan
rasanya habiskan waktu di rumah, sekarang aku mulai tak biasa berjalan,
ku ditemani kursi berjalan ini kemana-pun ku pergi, Osteosarcoma begitu
kata dokter kepada ibuku, penyakit yang diturunkan ayahku ini mulai
merusak tulangku, aku marah pada diriku, ayahku, bahkan pada Tuhan, aku
tau aku takkan bisa berlari, menari, bermain bahkan berjalan dengan
tubuh ini karena ku tau tulangku tak kuat memapah beratnya tubuh ini
lagi, tapi ku tau semua ini pasti indah pada waktunya.
Ku lewati massa yang seharusnya indah ini dengan senyum, ku coba
pelajari dan mengukuhkan hati melewati permainan Tuhan ini, karena ku
tahu “Tuhan maha tau” apa yang sebenarnya ku inginkan di dalam hati ini,
ku putar kembali secercah memori canda tawa yang masih melekat di
ingatanku saat ku berjalan berlari dan mencoba menggapai mimpi ku, indah
dunia ini masih seperti dulu, tapi tubuh ini yag berbeda lima tahun
lalu, hari yang sepi di tengah keramaian ini tak terlalu ku hirukan ku
kan terus hadapi setiap rintangan hidup ini.
Sunday, aku berkeliling perpustakaan menemani ibuku, rak demi rak ku
terusuri mencoba mencari buku yang dapat mengisi detik demi detik yang
akan ku lewati di rumah tua keluarga ku, ku tertarik pada buku bersampul
merah yang berjudul “Alunan Vector Tuhan” ku bawa buku itu ke tempat
dimana aku biasa membaca, meja bundar yang terletak di ujung lorong
perpustakaan, ku baca sedikit sinopsisnya saat mata ini mendarat pada
satu titik dimana dia berdiri, Lucas pria yang aku sukai sejak aku
memasuki massa SMA “Lucas…” aku menyapanya, Lucas menoleh dan
menghampiriku “Nanda… sedang apa kau di sini”, pembicaraan yang singkat
antara aku dan Lucas sejak satu tahun lalu aku meninggalkan sekolah.
Minggu, 14 April, pagi yang indah menghiasi alunan hati ku, aku
beranjak pergi ke arah dapur saat terdegar ketukkan pintu dari depan
rumahku, Lucas dia berkata ingin mengatakan sesuatu kepada ku, kursi
berjalan ini mengikuti langkah kaki pemuda berrambut coklat itu, kami
berhenti di bawah rimbun pohon jambu di pojok halaman rumah ku, di
sanalah Lucas mengutarakan isi hatinya, hari hari sepi ku berubah
menjadi sebuah imajinasi yang tak terlupakan, canda dan tawa Lucas
mengisi rumahku setiap pagi, hari demi ku lewati kanker ini mulai
menghakimi tulang punggung ku, sudah mulai runtuh semangat ku, hanya
tinggal embun yang tetap membutku gembira Lucas, “Lucas apakah prasaan
mu tak akan berubah saat hati ini menempatkamu di sudut rung hatiku”,
Lucas termenung seakan tak mengerti perkataanku, “kau tidak akan pergi,
kau akan kutemukan setiap hari di sini…”, Lucas meraba hatinya.
Happy Monday, aku diajak lucas berkeliling perkebunan karet tanpa di
temani kursiku ku dipapah lucas ke sentral perkebunan dimana berdiri
gubuk yang rindang dan sangat menyejukkan, sesaat saat kita tiba di sana
rintik hujan mulai mengguyur kawasan perkebunan, degan kaos yang aku
gunakan dingin perkebunan sangat menusuk raga ku, badan letih, lemah dan
tak berdaya rasaya ingin di rumah tertidur dengan selimut dan teh
hangat di sampingku, hujan semakin deras saat mata ku mulai redup di
pangkuannya, detik demi detik ku lewati dengan tubuh terbalut dingin
udara pagi.
13.04, ku sampai di rumah tak berdaya di gendongan Lucas, terlihat
ibu ku sangat kawatir dengan ku yang tampak tak berdaya, Lucas
membaringkanku di kamarku, ibuku segera menghampiri dengan membawa
segelas teh di tangannya, lucas menemaniku bahkan saat aku sudah
terbangun dari tidur panjangku, Lucas dia terlihat lelah tersipu tidur
di genggaman tanganku, dia terbangun karena sadar aku telah kembali dari
tidurku, Lucas pun kembali ke kehidupannya tepat tengah malam.
Pagi yang indah di hiasi seyum Lucas di ambang pintu rumah ku, aku
dan ibuku terlihat sibuk di meja makan saat dia datang, aku memang sudah
sehat tapi tak seperti yang kau lihat, tubuhku tetap terasa layu walau
hanya memangku separuh tubuhku, sedikit kaget melihat Lucas berpakaian
rapi dan tampak lebih tampan, hati ini senang dan beranjak berdiri dan
berjalan ke arahnya, ku mulai berdiri dan berjalan, ”Hati-hati…”, Lucas
menghampiriku dan merangkul tubuh ku, lalu kami bertiga terlelap dalam
canda dan tawa makan pagi ini, satu jam tak terasa mata ku berputar
dengan tulang belakang yang terasa sakit, karena lama di kursi kayu ini.
17 juni, tubuhku serasa membatu tak bisa digerakkan karena penyakit
ini 2 hari sudah ku tak bangun dari tempat tidurku, mungkin aku akan
pergi di tempat dimana aku dilahirkan, “Rumah tua ku”, ku rasa aku sudah
tak kuat lagi mengemban penyakit ini telalu lama yang mulai merusak
ruas-ruas tulangku, Lucas pun sudah mulai menjauhiku entah perasaanku
atau keyataan yang ada, Lucas tak datang seperti dulu saat aku
membutuhkannya dia selalu di sisiku, atau mungkin Lucas sibuk dengan
pekerjaannya entertainment muda yang menuju puncak karirnya, selasa
petang Lucas datang membawa setumpuk coklat di tangannya, coklat makanan
kesukaanku sejak sekolah dasar dulu, coklat selalu bisa menghilangkan
kesedihan dan duka lara ku menjalani hidup ini, dia tersenyum dan
menghampiriku, menemaniku hingga tertidur lelap setelah memakan coklat
itu bersamanya.
26 Desember 2011, ku berjalan di temani kursi tua ini, dengan lucas
di samping ku, dua tiga langkah ku lewati di antara berimbun tanaman
hijau yang menggiring ku ke danau di desa antropoba, terdengar beberapa
kicau burung yang hanyut dalam seruan angin, yang kalah kerasnya dengan
degukan hatiku, terlihat dari kejauhan danau biru yang didampingi
beberapa pohon jati, ku duduk di antaranya pohon hijau itu, ”Indah…
begitu indah, keindahan ini Nada kehidupan yang mungkin takkan terjadi
lagi”, terdengar halus Lucas berguman, mata ku mulai redup di sandaran
bahu lucas, mengalahkan indahnya danau di antropoba, jiwa ini terasa
melayang mencoba menggapai secercah cahaya yang melayang.
Nama ku Lucas Sinatya Ragitya, ku menunggu dia terbangun 21 hari
sudah, di kamar putih ini dia tampak lemah tak berdaya, ku masih ingat
dia mengenalkan diri di depan kelas sensei Kurosaki, tetes air mata ini
setiap mengingat senyumannya di atas kursi berjalannya, tubuhnya tampak
tak sekukuh dulu menghadapi setiap permainan Tuhan, senyumnya yang
selalu bisa buat ku terhibur, canda tawanya yang lucu di sela-sela
rimbun rambutnya yang panjang, dia takkan pernah pergi menghilang jika
cahaya masih menyinari hidup ini.
30 juli 2011, dia meninggalkanku di antara beribu Alunan Vektor ini sendirian tanpa dirinya di samping ku.
“Sebenarnya dia tak benar-benar meninggalkan ku, aku bisa menemukannya setiap detik…”
“Di sini… di Hati ku”
PERGI TAK KEMBALI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar