Aku termangu melihat cahaya jingga sang mentari yang perlahan-lahan
memudar dan berganti warna menjadi hitam karena selimut malam yang mulai
mendekapnya. Malam ini langit berhiaskan bintang-bintang genit yang
berkedip centil, menyapaku yang terpesona dengan sinar kecilnya yang
selalu setia menemani malam.
Rasa kagumku pada sang bintang terusik oleh sebuah tawa anak kecil
yang manis dan manja. Tawa itu begitu indah terdengar ditelingaku,
membuatku tersenyum senang sekaligus menimbulkan rasa sakit dan pedih
dihatiku.
Aku cemburu pada pemilik suara tawa yang indah itu. Aku cemburu pada
keriangan yang ditimbulkan oleh tawa manis dan manja itu. Aku cemburu
dan sedih karena bukan aku yang menjadi ibu dari anak tersebut. Aku
cemburu dan sakit karena tawa indah itu tidak menghiasi hati dan hariku.
Aku cemburu dan sakit hati, karena aku tidak tau akan sampai kapan
rumah ini sepi tanpa hiasan tawa dan tangis anak-anak.
Pikiranku berkata; “Jangan pikirkan hal yang tidak ada dan hal yang
belum tentu baik bagimu”, tapi hatiku berkata; “Sampai kapan aku akan
terus merasa sepi dan merasa tidak berarti seperti ini tanpa kehadiran
seorang anak?”.
Sakit dihati tidak terperih ketika tidak diperlakukan adil hanya
karena tidak memiliki keturunan. Ku kira seluruh wanita didunia ini
pasti menginginkan anak keturunan yang lahir dari rahimnya sendiri.
Bukannya tidak bersyukur dengan apa yang telah Allah Subhanahu Wata’ala
berikan dalam hidupku, ku kira manusiawi bila akupun menginginkan anak
keturunan seperti wanita-wanita yang lain. Agar ada yang menjadi
penghibur hati dikala sedihku, agar ada yang mendo’akan ketika aku mati
kelak.
Hatiku sakit bahkan sangat sakit, ketika suami tidak lagi mengacuhkan
ku karena ketidak mampuanku memiliki anak. Rasa putus asa dan merasa
diabaikan seringkali menghinggapi hatiku. Menahan semuanya dalam diam
dan kekecewaan yang teramat sangat.
Aku ingin sekali melihat cinta dimata suamiku. Aku ingin melihat
senyum dan tawa bahagia dibibirnya karena tawa lucu anak-anak kami. Aku
ingin disayangi seperti dia menyayangi yang lain. Apakah keinginan yang
sederhana ini tidak berhak untukku?.
Menangis dalam diam, hanya itu yang bisa kulakukan. Menyembunyikan
semua kecewa, amarah, luka dan sakit hati didalam hatiku yang sudah
sangat porak poranda. Mencoba untuk selalu tabah, bersabar dan mengalah,
meski semua itu membuat jiwaku semakin terpuruk dalam kubangan
kesedihan yang tak berdasar.
Rasa sakit hati ini kapankah akan berakhir?
Ya Allah….
Ma’afkanlah hambamu yang sangat lemah ini… Aamiin…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar