Kedua bola matanya masih menatap hujan dari jendela kelasnya. Yang
memang kini giliran saat musim hujan beraksi, setelah musim panas
berlalu dengan sendirinya. Entah apa yang ada di pikirannya sekarang,
entah apa yang menghalangi pendengarannya, Rebeca terkejut ketika
sahabatnya, Elsa memanggilnya.
“Rebecaaaa!”
“Hah? Eh iyaaa? Kenapa?” sahut Rebeca kemudian setelah Elsa telah memanggilnya berulang kali.
“Lo kenapa?” Tanya Elsa memastikan.
“Gak kok, gua fine-fine aja hehe.” Jelas Rebeca yang seperti sedang menyembunyikan sesuatu.
“Kantin yuk!” ajak Elsa mengalihkan topik pembicaraan seolah tidak peduli dengan sahabatnya itu.
“Gak ah, gua lagi males.” Jawab Rebeca dengan ekspresi datar.
“Ya udah, gua cabut dulu ya. Take care!” sambung Elsa kemudian yang
seakan sudah tahu tentang apa yang terjadi dengan sahabatnya dan
sekaligus mengakhiri pembicaraan.
Elsa meninggalkan ruangan kelas yang mulai tak beraturan itu. Wajar
saja, sekarang adalah waktu interval. Anak-anak bebas melakukan apa saja
pada jam ini, asal tidak melanggar peraturan yang berlaku di salah satu
sekolah Swasta Favorit di Jakarta itu.
Sementara Rebeca, melanjutkan aktivitasnya yang tadi sempat tertunda.
Matanya kembali tertuju pada hujan yang masih juga turun dengan
derasnya. Melihat hujan yang seakan juga sedang melihatnya.
Memperhatikan setiap langkah kilatnya, berharap sang hujan mengetahui
arah tujuan hatinya juga mendengar raungan hatinya. Menyaksikannnya
dengan penuh kepekaan, seolah hujan itu mengerti tentang apa yang Ia
rasakan dan mengetahui persis tentang apa yang terjadi pada dirinya.
Suara gemuruh sebagai ciri khas pembawaannya, seolah sedang berbisik
dengan batinnya. Meski lalu lalang anak-anak yang mulai bertebaran
menghalangi pemandangan yang sedang asyik Ia tonton, Ia tak peduli.
Sampai pada akhirnya bel pun menyadarkannya dari lamunannya itu.
Sekaligus sebagai tanda bahwa interval telah berakhir.
Selang beberapa menit kemudian, Ibu Vega, guru piket pada hari selasa
datang memberikan tugas mencatat. Beliau menyampaikan, bahwa Ibu Yeshi,
guru Matematika, tidak dapat mengajar pada hari ini dikarenakan ada
keperluan di Dinas Pendidikan. Tentu, hal ini menjadi kabar gembira bagi
anak-anak yang mulai lelah pada jam pelajaran yang mendekati terik,
terlebih pelajaran matematika.
”Caaa, gua duduk sini ya?” suara sesosok yang selama ini ada dalam
pikirannya, kini terlintas jelas dalam otaknya bahkan dalam jangkauan
penglihatannya, sebut saja Ari.
“Oh iya, duduk aja.” Balas Rebeca yang jelas masih terlihat kaget dan terkesan agak salting itu.
“Eh, Ca, temen sebangku lo kemana?” sambung Ari kemudian membuka pembicaraan.
“Hah? Eh siapa? Fika? Hmm… gua kurang tau, Ri.” Kata Rebeca ngasal.
Sebenarnya Rebeca tahu alasan kenapa teman sebangkunya itu tidak masuk
hari ini. Dia izin, karena menjemput saudaranya yang baru saja mendarat
di Bandara Soekarno-Hatta. Orangtuanya sibuk dengan kerjaannya
masing-masing, terpaksa Fika menuruti tugas dari kedua orangtuanya itu.
“Lo kenapa, Ca? kok kayak orang gugup gitu? Lo sakit? Apa lagi ada
masalah?” kata Ari yang sontak membuat Rebeca shock terlebih lagi GR.
“Eh gak kok, Ri. Sorry, gua lagi gak konsen nih.” jawab Rebeca.
“Oh ya udah, lo kalau ada masalah cerita aja ke gua, siapa tau gua bisa
bantu.” Kata Ari dengan memberikan setitik senyuman maut di wajahnya itu
dan ini membuat Rebeca menaruh harapan lebih ke Ari.
“Hmm… Thanks, Ri!” jawab Rebeca singkat. Mulutnya seolah terkunci.
Blank! Sampai Ia tidak tahu apa yang harus dikatakannya lagi. Detak
jantungnya beroperasi lebih cepat dari biasanya. Sampai Ia takut kalau
Ari akan mendengarnya.
Jam pelajaran berganti. Kini giliran Ms. Dini yang mengajar. Tapi
bejonya, Ms. Dini tidak dapat mengajar di jam pertama akibat menangani
kasus anak didiknya. Selain menjadi guru bahasa Inggris, Ms. Dini juga
ditugaskan sebagai Wali kelas anak kelas 11. Walaupun Ms. Dini terkenal
enak dengan cara mengajarnya, tapi jam-jam kosong seperti ini
ditunggu-tunggu oleh setiap anak kelas 12 yang merasa terbebani dengan
tugas-tugas sekolah akhir-akhir ini. Kesempatan ini pun tidak akan
mereka sia-siakan. Ari yang tadinya duduk di sebelahnya kini terlihat
sudah bergabung dengan anak laki-laki lainnya. Suasana yang tadinya
memang sudah tidak bersahabat kini semakin riweuh dengan keterlambatan
Ms. Dini.
Rebeca pun tidak menyia-nyiakannya, Ia mulai mengeluarkan buku hariannya
yang selalu Ia bawa kemanapun Ia pergi. Dia tidak ingin ada yang
menyentuh apalagi membacanya. Baginya, itu adalah buku keramat yang tak
seorangpun tidak boleh tahu. Bahkan, Ia pernah pulang lagi ke rumah demi
mengambil buku keramatnya, Ia takut apabila bukunya ditemui oleh
adiknya yang terkenal jahil di keluarganya itu.
Dengan lancarnya, Rebeca mulai menuangkan semua yang ada dalam pikirannya ke dalam buku kesayangannya itu.
06/02/2014
Dear Diary,
Aku gak tau tentang perasaanku kali ini. Aku senang bisa duduk
bersebelahan dengannya. Aku senang bisa ngobrol dengannnya, meski tak
sebanyak kalimat yang aku harapkan. Aku bahagia.
Aku merasa nyaman saat berada di dekatnya, yang tak pernah aku rasakan
ketika aku duduk dengan lelaki lainnya. Dia seperti malaikat yang bisa
melindungiku dari segala marabahaya.
Ya Tuhan, apa dia memiliki perasaan yang sama terhadapku? Apa ini hanya
harapanku saja? Ya Tuhan, apa aku salah telah menyukai orang yang
mungkin masih menyukai sahabatku, Elsa?
Ya Tuhan, andai aku mengenalnya lebih dulu dibanding sahabatku. Mungkin
ada kesempatan bagiku untuk memilikinya. Mungkin dia tidak akan
tersakiti olehnya, akibat penolakkannya. Mungkin saja dia akan bahagia
denganku sekarang.
Ya Tuhan, biarkan semua ini tersimpan dalam benakku. Biarkan perasaan
ini hanya Engkau, aku dan Wina, sahabat Penaku yang tahu. Dan juga buku
ini yang menjadi saksi atas perasaanku.
Aku gak mau! Kalau saja si Elsa tau tentang perasaanku ini. Apa jadinya
aku nanti? Gimana jadinya bentuk mukaku nanti? Seperti kepiting yang
baru saja direbus dan kemudian siap disantap oleh penikmatnya? Begitu?
Aku gak mau! Mau taruh dimana mukaku ini?
Ya Tuhan, sedikitpun aku gak mau membayangkannya. Aku gak mau menanggung
malu nantinya. Aku gak mau sahabatku menertawakanku atas perasaanku
kepada sesosok yang pernah menyukainya.
Ya, Tuhan, bantu a…
“Ca, lagi apa lo?” kata Elsa yang tiba-tiba nongol dengan suara
lantangnnya yang otomatis mengagetkan Rebeca yang belum menyelesaikan
curhatannya itu.
“Eh, elo, Sa. Gak kok, lagi iseng aja gua.” Sahutnya sambil memasukkan buku keramatnya itu ke dalam tas mungilnya.
“Pulang sekolah lo ikut gua ya, lagian ujannya udah mulai reda.” Ajak Elsa yang percaya dengan alasan sahabatnya itu.
“Kemana?” jawab Rebeca penasaran.
“Udah, tar lo juga tau.” Singkat Elsa.
“Oke deh, tapi pulangnya jangan sore-sore banget ya?” lanjut Rebeca.
“Siaap bos!” ledek Elsa.
Setelah Elsa kembali ke tempat duduknya, tidak lama Ms. Dini masuk ke
kelas dan meminta maaf akibat keterlambatannya dan kealpaannya
memberikan tugas. Anak-anak yang mempunyai sejuta akal dan patut
diacungi jempol untuk kekompakannya, bersekongkol untuk seolah-seolah
tidak terima dengan keterlambatan Ms. Dini itu. Berbagai alasan yang
mereka lontarkan membuat Ms. Dini menjadi semakin merasa bersalah. Dan
kejadian ini pun sukses menjadikan kelas ricuh kembali. Untungnya, ada
salah seorang anak yang menyudahi sekaligus menengahi keributan yang tak
pantas untuk ditiru. Akhirnya, Ms. Dini kembali mengajar dengan cara
yang tak disegani anak-anak itu. Selang beberapa menit, bel pun
menghentikan aktivitas siswa yang sedang mengerjakan tugas dengan
giatnya. Dilanjut merapihkan buku dan doa bersama.
“Ca, jadi ikut kan?” Tanya Elsa memastikan.
“Iya Oke, mau kemana?” Rebeca balik Tanya yang mulai beranjak dari bangkunya.
“Taman.” Jawab Elsa dengan senyuman.
“Taman sekolah? Mau ngapain?” Tanya Rebeca dengan raut muka yang jelas semakin penasaran.
“Iya taman sekolah, masa iya mau ke taman Bogor. Jauh keleeesss! Ayooo
ikut aja!” Elsa menarik tangan Rebeca. Membawanya ke tempat yang sudah
di dekorasi dengan indahnya ditambah sisa aroma khas hujan yang masih
tersisa, sesekali sejuknya embun yang merasuk jiwa terbawa oleh tiupan
angin yang sepoi-sepoi, membuatnya jatuh dari tempat persinggahannya.
Indah sekali! Menjadikan suasana yang romantis bagi dua insan yang
sedang dimabuk cinta. Membawa kegembiraan bagi anak cucu adam yang
menginjakkan kaki diatasnya.
“Sebenarnya ada apa sih?” Tanya Rebeca lagi.
“Ah elo, Ca! kemaren-kemaren kemana aja? Sibuk sama buku-buku lo sih.”
Ledek Elsa lagi. Memang, Rebeca adalah salah satu siswa berprestasi di
sekolahnya itu, seringkali dia menghabiskan waktunya dengan membaca
buku.
“Saaa, gua serius!” jawab Rebeca, kali ini dengan muka memelas.
“Hehe sebenernya, kita disini mau ngeresmiin hubungan Ari dengan Andini.
Dan gua, sebagai mak comblang sudah berusaha semaksimal mungkin untuk
melaksanakan tugas dengan baik. Agar supaya statusisasi hubungan mereka
jelas dan tidak ada lagi kontroversi hati ataupun kudeta hati tetapi
timbul yang namanya konspirasi kemakmuran yang mencakup harmonisisasi
tanpa memanipulasi yang telah diapresiasi.” Jeplak Elsa sembari
cengengesan dan sedikit lebay kata-katanya yang masih menirukan gaya
Vicky yang sempet booming tahun lalu itu.
“Ari sama Andini?” Rebeca meminta kepastian tanpa menghiraukan ocehan sahabatnya itu.
Belum saja Elsa, menjawab pertanyaan Rebeca. Ari diikuti Andini
datang dengan waktu yang sudah direncanakan. Elsa yang memang dari tadi
menunggu kedatangan mereka, menyambut dengan suka cita. Bak seorang ibu
yang sedang menunggu kehadiran anaknya duduk di atas pelaminan yang
sebentar lagi akan resmi menjadi sepasang suami istri bahagia.
Sementara Rebeca, matanya mulai berkaca-kaca. Dadanya mulai terasa
sesak. Rasa yang pada awalnya hanya sebatas rasa suka, menjadi rasa
sayang seiring dengan berjalannya waktu tanpa Ia sadari. Kini, rasa
sayangnya telah berubah menjadi rasa sakit yang tidak pernah ia harapkan
dalam kisah percintaannya. Hatinya remuk melihat semua yang ada di
depan matanya. Seperti seorang budak yang mendapat perlakuan tidak
pantas dari majikannya. Seperti hamba sahaya yang hanya bisa menerima
semua perlakuan si empunya. Pasrah, hanya itu yang dapat Rebeca perbuat
kali ini. Dia tidak tahu apa yang harus diperbuatnya. Sekarang yang ada
di pikirannya adalah Ari dan rasa penyesalannya.
Ari, orang yang baru saja Ia ceritakan dalam buku keramatnya. Orang yang
selama ini ada di dalam benakknya, sebentar lagi akan menjadi milik
orang lain. Itu berarti tak ada kesempatan baginya untuk memilikinya.
Rebeca tidak bisa membendung kesedihannya. Ia menyesal tidak
menceritakan kepada sahabatnya itu. Karena, baginya itu mustahil. Dia
lebih mementingkan gengsinya. Kini Ia menyesali perbuatannya itu. Andai
semuanya tahu tentang perasaannya, mungkin jalan ceritanya akan berbeda.
Mungkin semuanya tidak akan seperti ini. Setidaknya Dia tidak akan
bertanya-tanya kepada dirinya yang tidak tahu-menahu itu tentang apa
yang dirasakan oleh orang yang disayanginya.
Tak ada jalan keluar, melainkan jalan buntu yang menghadang. Air mata
yang seharusnya tidak keluar dari kedua matanya, kini mengalir deras.
Seolah hujan telah berpindah ke mata indahnya itu.
The End
Tidak ada komentar:
Posting Komentar