Jumat, 20 Maret 2015

Cinta Bukan Pilihan

Cerita ini dimulai saat usiaku genap 17 tahun. Saat ini aku adalah seorang siswi di sebuah sekolah ternama di surabaya, SMA Gemilang. Aku dilahirkan dan dibesarkan dari sebuah keluarga yang berada, papaku seorang pengusaha batubara di kalimantan sedangkan mamaku seorang owner sebuah restoran mewah. Ya, seperti kebanyakan anak orang kaya yang selalu dimanjakan dengan uang namun kurang kasih sayang. Padahal masih teringat dengan jelas masa-masa kecilku yang begitu indah bersama kedua orangtuaku, meskipun saat itu keluargaku belum sesukses ini. Tapi setidaknya aku masih bersyukur karena memiliki orangtua yang lengkap, dan itu sudah lebih dari cukup untukku. Cerita tentang keluargaku memang tidak ada habisnya, karena itu adalah cerita panjang dan tidak ada akhirnya. Hehe.
Namaku adalah Syaila Aquilla Moor lahir di Tokyo, Jepang namun berkebangsaan Indonesia. Aku dilahirkan dari pasangan David Moor dan Kariza Dinora yang merupakan kedua orangtuaku. Semenjak papa tinggal di Kalimantan, mama hampir tak pernah di rumah. Alhasil tak ada yang menemaniku di rumah kecuali Si mbok Darti, pembantu keluarga kami dari 25 tahun yang lalu.
Hari ini adalah awal masuk sekolah setelah libur panjang yang membosankan. Aku melangkah menyusuri koridor sekolah menuju ruang pengumumun untuk mengetahui dimana letak kelasku. Tiba-tiba dari arah belakang kudengar suara bawel dua orang cewek yang sangat aku kenal, Zahra Aisyah dan Agnessa Viara mereka adalah sahabatku semenjak aku bersekolah di sini.
“Hai Syil, lama banget kita nggak ketemu tapi kamu makin cantik aja.” Komentar Agnes, sahabatku yang paling bawel seantero dunia. Haha..
Jam pelajaran telah habis, kini waktunya istirahat. Aku dan dua orang sahabatku tanpa dikomando langsung beranjak dari tempat duduk dan melenggang dengan senangnya menuju kantin sekolah. Setelah kami memesan makanan yang kita mau, kami langsung membicarakan apapun yang ingin kita bicarakan kecuali liburan semester ini, karena mereka tidak ingin membuatku tersinggung. Namun perhatian mereka beralih ketika ada segerombolan cewek yang mengerubuti sesuatu. Ternyata sesuatu itu adalah seorang anak baru pindahan dari Bandung, yang kata semua cewek di sini seperti ada pangeran jatuh dari kerajaan.
Sekolah sudah sepi ketika aku masih menunggu Mang Diman yang belum juga menjemputku, entah sudah berapa lama aku di sini sampai-sampai aku tidak menyadari kehadiran seseorang yang duduk di sampingku. Dia hanya diam dan memejamkan matanya, namun saat kutanya dia tidak langsung menanggapinya. “hmm, aku Gerald murid baru di sini.” Ucapnya kemudian sambil menjabat tanganku. Pertemuan yang begitu singkat karena aku sudah dijemput Mang Asep supir pribadi Mama. Hari kedua di sekolah aku dijemput Willi, kapten tim basket di sekolah sekaligus idaman cewek-cewek Gemilang jauh sebelum Gerald datang. Sesampainya di sekolah semua perhatian tertuju pada kami, mungkin mereka iri karena mereka pikir kita sudah menjadi pasangan kekasih.
Bel istirahat telah berbunyi, seperti biasa kami langsung menuju kantin seolah-olah hanya itu tempat yang bisa kami tuju. Di tengah lapangan kulihat Willi sedang latihan basket dengan teman-temannya. Entah kenapa dan ada angin apa kurasakan ada seseorang duduk di sebelahku, setelah kulihat ternyata Gerrald. Aku heran kenapa dia ada di sini padahal masih banyak bangku yang kosong, dan dia seolah-olah tidak memperdulikan kalau dia menjadi bahan pembicaraan di sini. Dari arah lapangan basket kudengar irama langkah kaki yang sangat kukenal, William. Perhatian semua orang kini benar-benar tertuju kepadaku, apalagi dua cewek centil di depanku.
Aku sudah tahu apa yang akan terjadi, bukan karena aku bisa meramal tapi karena aku tahu sifat Willi yang selalu ingin melindungiku dari apapun yang mengancam ketenangan dan kebahagiaanku. Namun tanpa kusangka gerald segera beranjak dari tempat duduknya dan meninggalkan kantin dengan tenangnya. Aku bingung dengannya terkadang dia muncul tiba-tiba dan pergi pun dengan tiba-tiba, begitu misterius.
Hari demi hari telah kulalui, seperti biasa Willi menjemputku dengan mobil sportnya. Tidak seperti biasa istirahat kali ini aku berada di perpustakaan dan tentunya tanpa ditemani dua cewek centil yang biasanya selalu bersamaku. Entah sejak kapan mereka begitu alergi dengan buku-buku yang menjadi penghuni perpustakaan ini. Di sudut perpustakaan aku melihat gerald yang sedang menyendiri ditemani setumpuk buku sastra. “Ternyata kita bertemu di sini, apa kabar? Sudah lama aku tak melihatmu setelah insiden di kantin satu minggu yang lalu.” Sapanya kepadaku yang membuatku kaget. Bagaimana dia tahu aku di sini padahal aku berada di belakangnya, aku rasa dia punya indra keenam karena dia selalu tahu apa isi hatiku. “Kenapa tak menjawab salamku, are you ok Syaila?” ucapnya lagi padaku yang langsung aku jawab, “Emm, yeah of course I’m ok.” Dan terjadilah pembicaraan singkat di antara kami.
Aku terusik tentang perkataannya tadi di perpus yang membuatku tidak bisa tidur malam ini “Apa kau tahu, di sini aku tidak memiliki teman. Aku hanya ingin belajar di sini dan tentunya ada seseorang yang menemaniku sebagai seorang teman. Apa aku salah kalau aku ingin berteman denganmu? Aku pikir kau siswi populer di sekolah ini, mangkanya aku ingin lebih dekat denganmu. Tapi aku rasa aku harus menjaga jarak denganmu karena kau memiliki popularitas yang terlalu tinggi.” Kata-kata itu selalu terngiang dalam ingatanku. Bagaimana bisa orang sekeren dia tidak memiliki teman, apa dia bercanda? Mungkin karena dia terlalu keren mangkanya banyak anak yang minder untuk mencoba mendekatinya, apalagi menjadi temannya.
Istirahat kali ini aku mencarinya, tapi dia tidak ada di manapun. Aku rasa dia sedang berada di suatu tempat yang tidak ingin diketahui oleh siapapun. Tanpa berpikir panjang aku mengajak dua cewek centil menemui Fahlan, ketua perpustakaan yang cukup keren untuk seukuran anak kutu buku. Dua cewek centil itu menunggu di luar perpus, sementara aku masuk menemui Fahlan. “Aku ingin bicara denganmu sebentar, bisa?” tanyaku tanpa basa-basi. Fahlan menoleh dan dia terkejut melihat aku di sini, “Waw primadona SMA Gemilang, tidak kusangka kau ingin menemuiku dan bicara denganku.” Ucapnya dengan lembut. Setelah sepuluh menit berlalu dia tahu apa yang aku rasakan, dan dia akan mencoba untuk membantu masalah yang aku hadapi tentang Gerald.
Ternyata kegelisahanku tentang Gerald yang butuh seorang teman dirasakan juga oleh Willi. “Akhir-akhir ini kau seperti sedang memikirkan sesuatu.” Tanya Willi tiba-tiba. “Tidak, aku hanya sedikit pusing.” Jawabku berkilah. “Aku mengenalmu tidak sehari dua hari Syil, sudah hampir tiga belas tahun. Aku tahu pasti apa yang kau rasakan sekarang, hanya saja aku tidak tahu apa masalahnya.” Timpalnya. Obrolan kami terhenti ketika mobil Willi memasuki gerbang sekolah. Dari arah berlawanan kulihat Fahlan sedang asyik mengobrol dengan teman-temannya dan juga Gerald, aku tidak menyangka akan secepat ini. Bagaimana Fahlan melakukannya?
Sms diterima “Sama-sama Syaila, aku senang bisa membantumu. Dan sekarang aku memiliki teman baru yang pikirannya sejalan denganku. Aku juga sangat berterimakasih padamu.” Itu yang diucapkan Fahlan setelah aku mengucapkan terimakasih lewat sms. Perasaanku sekarang sudah lebih tenang. Tanpa kusadari sedari tadi dua sahabatku yang centil ini memperhatikan tingkah lakuku yang senyum-senyum sendiri. “Tadi kau begitu murung, sekarang keceriaanmu sudah pulih kembali. Apa yang terjadi, kau tidak menceritakannya pada kami?” tanya Agnes penasaran.
“Apa?” tanya mereka ketika aku sudah menceritakan semua masalah Gerald. “Bagaimana mungkin anak sekeren dia tidak memiliki teman, kau bercanda Syil?” ungkap Zahra yang mulai ikut terbawa suasana. “Ya memang itu yang terjadi, kalian tahu aku tidak pernah membohongi kalian kan?” jawabku seraya membaca buku. Kini mereka mengerti bahwa tidak selamanya cowok keren dan tampan memiliki banyak teman. Namun mereka masih tidak habis pikir kenapa Gerald hanya bercerita padaku, kenapa tidak kepada mereka atau yang lainnya.
Satu bulan telah berlalu. Kini kebahagiaanku semakin bertambah karena Gerald sudah mulai menemukan titik kebahagiaannya sendiri. “Aku tahu semua ini adalah perbuatanmu.” Ucap sebuah suara di belakangku. Tanpa menoleh aku menjawab “Apa kau ingin mengucapkan terimakasih padaku?”. “Tentu, ternyata kau benar-benar sangat populer di sekolah.” Jawabnya tanpa basa-basi. Setelah aku duduk di sebuah bangku kayu sudah cukup tua usianya diapun ikut duduk di sebelahku. Aku sudah tahu kalu dia Gerald, dari gaya bicaranya sangat khas dan lembut.
Dia mengantarkanku pulang ke rumah, karena jarak antara taman kota dan kompleks rumahku lumayan jauh. Willi yang melihatku bersama Gerald langsung menghampiriku dan bertanya “Apa dia mengganggumu?”. “Kami tidak sengaja bertemu di taman sewaktu aku sedang jogging, dan dia mengantarkanku karena dia tahu aku tidak membawa kendaraan sendiri.” Jawabku dengan polos. Gerald pun memohon pamit untuk menghindari terjadinya permasalahan yang lebih besar dengan Willi. Ternyata dia cukup dewasa, tanpa aku sadari aku mulai memikirkannya.
Weekend kali ini aku dijemput Gerald. Dia bilang ingin mengajakku ke suatu tempat. Ini adalah kali pertama aku jalan dengannya. Sepanjang perjalanan kami tidak banyak mengobrol, mungkin tidak ada bahan pembicaraan atau bahkan kami sama-sama gugup. Setelah perjalanan yang melelahkan akhirnya kami sampai di suatu tempat yang belum pernah aku datangi sebelumnya. Tempat ini begitu indah dan sejuk, aku seperti telah dibius oleh keindahan tempat ini sampai-sampai aku tidak memperdulikan orang yang mengajakku kesini.
“Aku tahu kau akan menyukai tempat ini. Kau boleh datang kesini kapanpun dan selama yang kau mau, aku akan memberikan kuncinya untukmu.” Ucap Gerald yang membangunkan lamunanku. “Kenapa kau mengajakku kesini? Dan kenapa juga kau ingin menyerahkan kunci tempat ini untukku, bukankah seharusnya kau melakukan ini kepada orang yang benar-benar kau sayang?” tanyaku bertubi-tubi. “ arena kau orangnya, Syaila. Sejak pertama kali aku melihatmu aku sudah merasakan ada yang salah dengan perasaanku, dan ketika kau menjawab semua pertanyaanku di perpustakaan waktu itu bukan dengan ucapan melainkan dengan perbuatan, aku semakin yakin bahwa aku telah jatuh cinta padamu.” Jawabnya dengan gamblang.
Sejak kejadian weekend kemarin, aku merasa canggung bila bertemu Gerald. Pernyataan tentang perasannya begitu mendadak, aku bahkan tidak sempat menjawabnya. Kumainkan sebuah kunci dengan gantungan boneka dolpin kecil yang cantik, kunci pemberian Gerald yang entah kenapa ada di tanganku. Sudah seminggu ini aku selalu memikirkannya, kemisteriusannya membuatku semakin penasaran tentang bagaimana kehidupan pribadinya. Pikiranku semakin kacau kala mengingat pernyataan perasaan William kepadaku tiga belas tahun yang lalu, dan sampai sekarang pun Willi masih menyimpan perasaan itu.
Aku terjebak di antara dua orang pria yang sangat berbeda perilaku dan sifatnya, sebenarnya mereka mempunyai kesamaan yaitu sama-sama mencintaiku. Tapi aku tidak bisa memilih karena cinta itu bukan soal pilihan, hanya saja terkadang orang melakukan pilihan untuk menjadikan semuanya mudah. Aku bukan tipe orang yang pemilih, karena semua hal tentang hidupku telah ditentukan orangtuaku kecuali cinta tentunya. Mereka pikir untuk masalah yang satu itu harus aku sendiri yang menentukan, entah kenapa.
Ini sudah lima bulan berlalu dan sekarang aku dihadapkan dengan dua orang pria yang hendak meminta pertanggungjawaban perasaan mereka padaku. “Aku tidak bisa memilih di antara kalian, karena memang dari awal pilihan ini tidak seharusnya ada. Aku sudah menganggapmu seperti kakakku sendiri Willi, dan untuk kau Gerald aku tulus berteman denganmu.” Kataku memecah kesunyian. “Lalu siapa nantinya yang akan menjadi kekasihmu kalau bukan salah satu di antara kami?” Timpal Willi. Dari arah pintu masuk seseorang yang sangat aku kenal wangi tubuhnya masuk ke dalam rumahku. “Akulah nantinya yang akan menjadi bintang di hati Syaila.” Jawab orang itu sambil duduk di dekatku.
“Perkenalkan ini Azka Immanuel Shan, calon pendamping hidupku.” Ujarku menjelaskan. “Kau tidak pernah bercerita tentangnya padaku, bahkan aku sama sekali tidak menyadari kehadirannya di hidupmu.” Ungkap Willi. Azka menjelaskan semua awal mula pertemuan kami dan sampai kami mengucap sebuah janji untuk bersama. Gerald hanya terdiam membisu, dan setelah dia tahu semua dia langsung meninggalkan rumahku dengan tersenyum simpul. Sedangkan Willi bisa menerima semua ini dengan lapang dada, baginya yang terpenting untuknya adalah kebahagiaanku. Itulah yang aku sukai dari Willi sebagai seorang teman bahkan sebagai seorang kakak.
Semenjak kelulusan sekolah diumumkan, aku tidak mendengar kabar tentang Gerald. Dia seperti hilang di telan bumi. Pulang dari wisuda sekolah aku langsung mengajak Willi ke tempat dimana Gerald menyatakan perasaannya padaku. Namun tempat ini tak seindah saat pertama kali aku kesini, keindahan tempat ini seperti ikut dibawa pergi olehnya. Tempat ini dulu melukiskan tentang semua perasaan cintanya padaku dan sekarang tempat ini juga masih melukiskan tentang semua perasaannya, meskipun itu adalah kekecewaan dan kesedihannya. Aku berdo’a semoga dia mendapat seseorang yang lebih baik dariku, amien…
NOTE: cinta bukan soal pilihan, karena cinta tak memilih untuk siapa dia akan berlabuh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar