Kamis, 19 Maret 2015

Pergi tak Kembali

Sebuah cerita bermakna
Yang ingin ku tulis
Bukanlah sebuah mimpi
Yang terbang melayang
Hanya di atas angan-angan
Rasa sepi di tengah keramaiaan ini
Buat ku tau apakah aku bisa
Menggapai dengan kelebihan ini
Ku lakukan karena satu “Tuhan Maha Tahu”
Tetes embun yang mengalir mengayun di dedaunan, membangunkan ku saat sinar sang fajar merambat di sela-sela jendela kamarku, ku coba membuat tubuh ini terbangun dan merasakan indahnya mentari hari ini, Nanda itu nama ku, gadis manis yang mencoba mengubah sebuah kekurangan menjadi satu yaitu keajaiban yang akan membawa ku menjadi pribadi yang tangguh, ku coba gerakkan tulang-tulang ini yang mulai rapuh termakan waktu, tapi aku percaya bukan waktu yang akan melenyapkan impianku menjadi pemain balet nasional. balet olahraga yang membuat ku bisa merasakan indahnya nada-nada tenang yang tak kutemukan di setiap aktivitasku, ku bangkit dan berjalan tertatih melewati setiap jengkal anak tangga yang mulai bergoyang di mata ku, satu tujuan ku pagi ini melihat sejuk indahnya pagi ini dan mendegar kicauan burung yang bernyanyi, ku berjalan menuju kursi kayu tua yang berdiri tegak di ujung halaman rumah ku terlihat ibuku memetik beberapa cabe hijau yang mungkin kan tertata rapi di meja makan.
Duduk beberapa menit di sini membuat tulangku berdenyut sakit, sebelum ku tak biasa bangkit ku coba kuatkan kaki ku dan mulai berjalan ke tempat dimana cabe-cabe dan beberapa menu pagi ditata rapi di atas sebuah corak kotak yang seumur dengan tangga reot tadi. “Nanda… cepat ke sini”, ibuku berteriak, Aku kaget mendengar suara ibuku, aku berlari kecil dan mencoba lebih cepat sampai ruang makan, aku duduk di samping ibuku, suasana ini telah ku lewati selama lima tahun semenjak ayah tiada, menu biasa yang menghiasi meja ini tempe tahu dan sambal yang dihiasi cabe segar tadi
Watashi wa Nanda desu, ku perkenalkan diriku di tengah pelajaran bahasa jepang sensei Kurosaki, tetapi kedua mata ini tetap menatap tajam ke ujung ruangan dimana dia duduk dan terlihat sibuk dengan Shoudo yang membuat tangan ini gemetar, lima menit lagi pelajaran ini tergantikan oleh canda dan tawa siswa di sini, ku begegas merapikan buku-buku, ku berjalan bukan ke tempat dimana anak-anak berkumpul, aku memilih menuju ruang balet di ujung koridor sekolahku dimana dulu aku biasa menari “Nanda… kemarilah” Nia memanggilku, Nia temanku yang dulu satu tim dengan ku, aku duduk di bawah alas karet tempat anak-anak menari indah, bersama Nia sambil melihat teman-teman ku memulai permainan “Nanda ayo kita ikut latihan”, Nia mencoba membujukku untuk ikut menari dengan mereka, dan akhirnya aku menggerakkan badan ku, kira-kira setengah jam aku menari, mata ku mulai tak setajam tadi lagi, aku berlari dan mencoba melakukan gerakan berputar, aku melompat dengan menggerakkan seluruh ototku, aku menari dengan semangat dan Nia berkata, “Nanda… Nanda… Nanda”, kakiku tak biasa gerak dan kaku aku mendarat dengan kerasnya membenturkan punggungku ke ubin di pojok ruangan, suasana seakan berubah aku tak lagi dapat merasakan tubuh ku, mata ku terlelap saat ku mendengar sirine mengaung di udara, detik demi detik berlalu dan mataku mulai dapat menyentuh secercah cahaya, ku mendengar sayup-sayup suara ibu ku yang kelihatannya berbicara dengan dokter, beberapa menit kemudian mata ku sudah dapat melihat kembali indah dunia ini, ibu ku menghampiriku dengan bekas air mata di matanya.
Satu bulan kurasakan makanan yang tak sedap dan hambar itu, bosan rasanya habiskan waktu di rumah, sekarang aku mulai tak biasa berjalan, ku ditemani kursi berjalan ini kemana-pun ku pergi, Osteosarcoma begitu kata dokter kepada ibuku, penyakit yang diturunkan ayahku ini mulai merusak tulangku, aku marah pada diriku, ayahku, bahkan pada Tuhan, aku tau aku takkan bisa berlari, menari, bermain bahkan berjalan dengan tubuh ini karena ku tau tulangku tak kuat memapah beratnya tubuh ini lagi, tapi ku tau semua ini pasti indah pada waktunya.
Ku lewati massa yang seharusnya indah ini dengan senyum, ku coba pelajari dan mengukuhkan hati melewati permainan Tuhan ini, karena ku tahu “Tuhan maha tau” apa yang sebenarnya ku inginkan di dalam hati ini, ku putar kembali secercah memori canda tawa yang masih melekat di ingatanku saat ku berjalan berlari dan mencoba menggapai mimpi ku, indah dunia ini masih seperti dulu, tapi tubuh ini yag berbeda lima tahun lalu, hari yang sepi di tengah keramaian ini tak terlalu ku hirukan ku kan terus hadapi setiap rintangan hidup ini.
Sunday, aku berkeliling perpustakaan menemani ibuku, rak demi rak ku terusuri mencoba mencari buku yang dapat mengisi detik demi detik yang akan ku lewati di rumah tua keluarga ku, ku tertarik pada buku bersampul merah yang berjudul “Alunan Vector Tuhan” ku bawa buku itu ke tempat dimana aku biasa membaca, meja bundar yang terletak di ujung lorong perpustakaan, ku baca sedikit sinopsisnya saat mata ini mendarat pada satu titik dimana dia berdiri, Lucas pria yang aku sukai sejak aku memasuki massa SMA “Lucas…” aku menyapanya, Lucas menoleh dan menghampiriku “Nanda… sedang apa kau di sini”, pembicaraan yang singkat antara aku dan Lucas sejak satu tahun lalu aku meninggalkan sekolah.
Minggu, 14 April, pagi yang indah menghiasi alunan hati ku, aku beranjak pergi ke arah dapur saat terdegar ketukkan pintu dari depan rumahku, Lucas dia berkata ingin mengatakan sesuatu kepada ku, kursi berjalan ini mengikuti langkah kaki pemuda berrambut coklat itu, kami berhenti di bawah rimbun pohon jambu di pojok halaman rumah ku, di sanalah Lucas mengutarakan isi hatinya, hari hari sepi ku berubah menjadi sebuah imajinasi yang tak terlupakan, canda dan tawa Lucas mengisi rumahku setiap pagi, hari demi ku lewati kanker ini mulai menghakimi tulang punggung ku, sudah mulai runtuh semangat ku, hanya tinggal embun yang tetap membutku gembira Lucas, “Lucas apakah prasaan mu tak akan berubah saat hati ini menempatkamu di sudut rung hatiku”, Lucas termenung seakan tak mengerti perkataanku, “kau tidak akan pergi, kau akan kutemukan setiap hari di sini…”, Lucas meraba hatinya.
Happy Monday, aku diajak lucas berkeliling perkebunan karet tanpa di temani kursiku ku dipapah lucas ke sentral perkebunan dimana berdiri gubuk yang rindang dan sangat menyejukkan, sesaat saat kita tiba di sana rintik hujan mulai mengguyur kawasan perkebunan, degan kaos yang aku gunakan dingin perkebunan sangat menusuk raga ku, badan letih, lemah dan tak berdaya rasaya ingin di rumah tertidur dengan selimut dan teh hangat di sampingku, hujan semakin deras saat mata ku mulai redup di pangkuannya, detik demi detik ku lewati dengan tubuh terbalut dingin udara pagi.
13.04, ku sampai di rumah tak berdaya di gendongan Lucas, terlihat ibu ku sangat kawatir dengan ku yang tampak tak berdaya, Lucas membaringkanku di kamarku, ibuku segera menghampiri dengan membawa segelas teh di tangannya, lucas menemaniku bahkan saat aku sudah terbangun dari tidur panjangku, Lucas dia terlihat lelah tersipu tidur di genggaman tanganku, dia terbangun karena sadar aku telah kembali dari tidurku, Lucas pun kembali ke kehidupannya tepat tengah malam.
Pagi yang indah di hiasi seyum Lucas di ambang pintu rumah ku, aku dan ibuku terlihat sibuk di meja makan saat dia datang, aku memang sudah sehat tapi tak seperti yang kau lihat, tubuhku tetap terasa layu walau hanya memangku separuh tubuhku, sedikit kaget melihat Lucas berpakaian rapi dan tampak lebih tampan, hati ini senang dan beranjak berdiri dan berjalan ke arahnya, ku mulai berdiri dan berjalan, ”Hati-hati…”, Lucas menghampiriku dan merangkul tubuh ku, lalu kami bertiga terlelap dalam canda dan tawa makan pagi ini, satu jam tak terasa mata ku berputar dengan tulang belakang yang terasa sakit, karena lama di kursi kayu ini.
17 juni, tubuhku serasa membatu tak bisa digerakkan karena penyakit ini 2 hari sudah ku tak bangun dari tempat tidurku, mungkin aku akan pergi di tempat dimana aku dilahirkan, “Rumah tua ku”, ku rasa aku sudah tak kuat lagi mengemban penyakit ini telalu lama yang mulai merusak ruas-ruas tulangku, Lucas pun sudah mulai menjauhiku entah perasaanku atau keyataan yang ada, Lucas tak datang seperti dulu saat aku membutuhkannya dia selalu di sisiku, atau mungkin Lucas sibuk dengan pekerjaannya entertainment muda yang menuju puncak karirnya, selasa petang Lucas datang membawa setumpuk coklat di tangannya, coklat makanan kesukaanku sejak sekolah dasar dulu, coklat selalu bisa menghilangkan kesedihan dan duka lara ku menjalani hidup ini, dia tersenyum dan menghampiriku, menemaniku hingga tertidur lelap setelah memakan coklat itu bersamanya.
26 Desember 2011, ku berjalan di temani kursi tua ini, dengan lucas di samping ku, dua tiga langkah ku lewati di antara berimbun tanaman hijau yang menggiring ku ke danau di desa antropoba, terdengar beberapa kicau burung yang hanyut dalam seruan angin, yang kalah kerasnya dengan degukan hatiku, terlihat dari kejauhan danau biru yang didampingi beberapa pohon jati, ku duduk di antaranya pohon hijau itu, ”Indah… begitu indah, keindahan ini Nada kehidupan yang mungkin takkan terjadi lagi”, terdengar halus Lucas berguman, mata ku mulai redup di sandaran bahu lucas, mengalahkan indahnya danau di antropoba, jiwa ini terasa melayang mencoba menggapai secercah cahaya yang melayang.
Nama ku Lucas Sinatya Ragitya, ku menunggu dia terbangun 21 hari sudah, di kamar putih ini dia tampak lemah tak berdaya, ku masih ingat dia mengenalkan diri di depan kelas sensei Kurosaki, tetes air mata ini setiap mengingat senyumannya di atas kursi berjalannya, tubuhnya tampak tak sekukuh dulu menghadapi setiap permainan Tuhan, senyumnya yang selalu bisa buat ku terhibur, canda tawanya yang lucu di sela-sela rimbun rambutnya yang panjang, dia takkan pernah pergi menghilang jika cahaya masih menyinari hidup ini.
30 juli 2011, dia meninggalkanku di antara beribu Alunan Vektor ini sendirian tanpa dirinya di samping ku.
“Sebenarnya dia tak benar-benar meninggalkan ku, aku bisa menemukannya setiap detik…”
“Di sini… di Hati ku”
PERGI TAK KEMBALI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar