Jumat, 20 Maret 2015

Cinta Sesaat

Pagi itu secara tak sengaja aku bertemu dengan Lina yang sedang berjalan menuju jalan raya. Tanpa berpikir panjang aku langsung menghampirinya. Namun, ketika aku hendak memanggilnya ada sebuah mobil yang berhenti tepat di hadapannya. Dan ia masuk ke dalam mobil tersebut lalu pergi.
Sekarang aku tahu, mengapa ia tak bisa menemaniku untuk berlatih. Ternyata, ia punya janji dengan orang lain. Aku pun memutuskan untuk melanjutkan latihanku. Selesai berlari-lari, aku istirahat sejenak di taman, sembari menikmati pemandangan dan udara pagi yang segar. Tiba-tiba ada seorang anak cowok yang datang menghampiriku. Rasanya aku tak pernah melihat anak ini.
“Sendirian saja nih. Emang temen kamu kemana?” tanya cowok itu.
“Temen? Dia ada janji sama orang lain. Sorry kok kayaknya kamu udah tahu tentang aku ya. Perasaan kita belum pernah ketemu.” ucapku penasaran.
“Iya sih, aku sering lihat kamu di rumahnya Lina. Jadi aku tau kalau kalian berteman.” jelas cowok itu.
“Kamu saudaranya Lina?” tanyaku bingung.
“Bukan. Tapi aku tetangganya.” Jawab cowok itu.
Hari menjelang siang. Bunda mengirim sms kepadaku, dan aku segera pulang dan meninggalkan cowok itu sendirian. Entah kenapa rasanya cowok itu tak asing bagiku. Aku tak ingin memikirkannya terlalu lama. Ku mainkan gitar dan menyanyikan sebuah lagu. Saat ku menyanyikan lagu itu, aku teringat akan seseorang. Yah, aku sadar. Cowok itu mirip dengan masa laluku. Segera ku ambil foto album dan kubuka. Benar, cowok itu memang mirip dengan dia.
Keesokannya, di sekolah aku menceritakan kejadian kemarin pada Lyna. Ia sempat kaget mendengarnya. Lyna takut aku akan kembali mengingat masa laluku dan terpuruk kembali. Makanya ia tak pernah memberitahuku tentang cowok itu. Cowok itu ternyata tetangganya Lyna. Pantas saja ia sering melihatku.
Lyna bercerita sedikit tentang cowok itu. Ternyata ia sudah kuliah dan jarang berada di rumah. Maka dari aku merasa tak pernah bertemu dengannya. Kelihatannya dia anak baik-baik. Selama perjalanan pulang aku terus mengingat wajah cowok itu.
Dua hari kemudian, aku pergi ke sebuah toko buku yang tak jauh dari taman. Aku mencari sebuah buku yang bisa menginspirasiku. Dan setelah menemukannya, aku segera mengambilnya. Namun, ada tangan orang lain yang juga mengarah ke buku itu. aku segera melepaskan tanganku. Dan ku pandang anak itu.
“Maaf, kamu juga mau beli buku itu?” tanya cowok itu.
“Iya, tapi kalau kamu emang benar-benar butuh, ambil saja.” Ucapku.
“Oh, nggak usah. Kamu saja. Itu tidak terlalu penting. Kamu tinggal dekat sini?” ucap cowok itu.
“Aku tinggal di perumahan sebelah. Oh ya kita belum kenal.” Ucapku.
“Namaku Putra. Nama kamu siapa?” ucapnya.
“Aku Chaca. Ya sudah, aku ke kasir dulu.” ucapku.
Setelah keluar dari toko, ternyata Putra masih berada di depan. Aku sempat bingung, apa ia masih menginginkan buku ini. Aku pun menghampirinya. Ternyata dia ingin menanyakan alamat seseorang.
“Kamu tahu alamat ini tidak?”
“Ini kan alamat rumahku.”
“Benar. Kalau begitu sekalian saja. Aku harus menemui Mama kamu.”
Sesampainya di rumah, aku langsung mengajak Putra masuk. Aku mencari Bunda kesana kemari tapi aku tak melihatnya. Akhirnya aku menelpon beliau.
“Tunggu sebentar ya. Bunda masih keluar, tapi sebentar lagi pulang kok.”
“Iya, nggak papa kok.”
“Kalau boleh tau, kok kamu bisa kenal sama Bunda?”
“Lima tahun yang lalu aku pernah bertemu Mama kamu. Kalau tak salah beliau adalah teman lama ayahku. Dan ayah menyuruhku mencari Mama mu, karena ada hal penting yang harus aku sampaikan.”
Tak lama kemudian, Bunda telah tiba dan menemui Putra. Mereka saling berbincang-bincang. Namun, beberapa saat kemudian, suasana berubah menjadi menegangkan. Mereka terlihat sangat serius. Entah apa yang mereka bicarakan sebenarnya. Ini bukanlah urusanku, jadi lebih baik aku pergi.
Malam ini bintang-bintang terlihat sangat terang. Aku kembali teringat pada wajah ccowok itu. sebenarnya siapa dia. Mengapa aku terus terbayang-bayang oleh wajahnya. Rasanya sangat senang setiap kali aku mengingat wajahnya. Mungkinkah aku menyukainya. Bagaimana mungkin. Aku baru bertemu dengannya sekali.
Aku berjalan-jalan di sekitar taman. Merasakan hangatnya sinar matahari. Aku melihat orang yang mirip dengan cowok waktu itu. Itu pasti hanya halusinasiku saja, pikirku. Tak lama kemudian, cowok itu mendekat.
“Hai, kita ketemu lagi. Oh ya, waktu itu kita belum sempat berkenalan. Kamu tiba-tiba pergi gitu aja.” ucap cowok itu.
“Sorry, waktu itu aku buru-buru.” Ujarku.
“Namaku Reno. Nama kamu?” ucapnya.
“Chaca. Kata Lyna kamu kuliah di luar kota, kok masih disini?” tanyaku iseng.
“Iya, mulai semester ini aku pindah ke sini. Makanya nggak perlu bolak-balik ke luar kota.”
“Oh gitu. Memang semester berapa?”
“Semester 3. Jurusan Fisika.”
Setelah berbincang-bincang cukup lama, aku berpamitan pulang. Karena malam akan segera tiba. Reno pun mengantarku pulang. Sampai di depan gerbang, ia berpamitan. Aku masuk ke dalam rumah dengan perasaan yang sangat senang. Entah mengapa rasanya aku sangat bahagia. Sampai di ruang tamu ternyata ada Putra disana.
“Baru pulang?” tanya Putra.
“Iya. Sudah lama disini?” tanyaku balik.
“Lumayan, sekitar hampir satu jam.”
“Oh, masih belum selesai ya urusannya. Kayaknya penting banget.”
“Udah selesai kok. Oh ya, besok kamu ada acara nggak?”
“Kayaknya sih enggak. Kenapa?”
“Gimana kalau besok kita nonton. Aku sudah lama nggak nonton. Tapi kalau kamu nggak mau juga nggak papa kok.”
“Santai aja, aku mau kok. Kan gratis, tapi tanya Bunda dulu. Kalau diijinin ya berangkat.”
“Aku yang bilang ke Mama kamu. Kan yang ngajak aku.”
Keesokannya selesai nonton aku di ajak Putra ke sebuah restoran. Dia memang sangat baik. Dia juga tidak bersikap macam-macam dan hal-hal yang membuatku marah. Bertingkah sewajarnya. Aku senang bisa mengenal Putra, tapi kenapa bayangan Reno tetap ada di benakku. Semoga Putra tak tau dengan apa yang aku pikirkan sekarang.
Semakin hari aku semakin akrab dengan Putra. Bunda juga sangat senang melihat kedekatanku dengan Putra. Namun, aku juga masih sering bertemu dengan Reno. Kadang Reno juga datang ke rumah. Bunda tau kenapa aku begitu senang bertemu dengan Reno.
“Cha, bunda harap kamu tidak mempermainkan hati mereka. Kamu harus memilih salah satu.” ujar Bunda.
“Aku sendiri tak tau harus memilih siapa. Aku sangat senang kalau Reno berada di sampingku. Berbeda saat aku bersama Putra.” jawabku.
“Ingatlah Reno itu berbeda dengan Digta. Jangan kamu samakan Reno dengannya.”
“Iya. Aku tau. Aku tidur dulu ya.”
Hari ini aku merasa tak bersemangat. Entah mengapa tiba-tiba aku ingin bertemu dengan Reno. Rasanya aku merindukan kehadirannya. Lyna yang melihatku murung, segera menghiburku.
“Kamu kenapa sih? Kok galau begitu?”
“Entahlah, aku kepikiran Reno. Aku pengen ketemu dia.”
“Kayaknya beberapa hari ini aku juga nggak liat dia ada di rumah.”
“Kemana ya dia, sudah dua hari ia tak memberi kabar sama sekali.”
“Sudahlah, paling sebentar lagi juga balik.”
Pelajaran hari ini telah usai. Aku segera keluar kelas. Aku ingin cepat sampai di rumah dan beristirahat. Namun, di depan sekolah ternyata ada Putra. Aku sangat kaget. Aku pikir dia masih di kampus. Tiba-tiba dia mengajakku pergi. Ia ingin menunjukkan sesuatu padaku.
Sebenarnya aku malas pergi, tapi kasihan Putra kalau aku menolaknya. Dia sangat baik padaku. Tapi aku tak bisa memandang ke arahnya. Pikiranku masih dipenuhi dengan Reno. Dia bilang pasti aku akan sangat senang dan tak akan bisa melupakannya. Tapi ia tak mau memberitahuku akan pergi kemana.
Aku sempat tertidur dalam mobil saat perjalanan. Tiba-tiba, aku dibangunkan Putra. Kami berhenti di sebuah villa. Villanya cukup besar dan indah. Putra mengajakku masuk dan mengenalkanku pada kedua orangtuanya. Aku sedikit gugup. Aku tak tau harus bersikap bagaimana. Aku juga bertemu dengan adiknya Putra. Dia sangat cantik dan baik. Putra menyuruhku untuk beristirahat. Aku sangat menyukai tempat ini. Terasa sangat tenang dan damai. Berbeda dengan saat di kota.
Keesokannya, Putra mengajakku ke sebuah tempat yang katanya aku pasti bakalan suka. Aku pun menurut saja. Tapi kali ini, aku harus menutup mata, biar surprise katanya. Setelah sampai di tempat itu, aku membuka mata.
“Waw, ini beneran. Bagus banget danaunya. Baru kali ini aku lihat danau sebagus ini.”
“Ya makanya aku bawa kamu kesini. Aku yakin, kamu belum ke tempat yang seperti ini.”
“Aku suka banget sama tempat ini.”
“Cha, ada yang ingin aku sampaikan sama kamu.”
“Apa?”
“Sebenarnya aku mengajak kamu kesini selain untuk mengenalkan kamu sama keluargaku, aku juga mau mengungkapkan sesuatu. Mungkin kamu kaget kalau mendengarnya. Tapi aku harap kamu tidak marah.”
“Kamu ngomong aja belum, gimana aku mau marah.”
“Sebenarnya aku suka sama kamu. Semakin kita kenal aku semakin yakin sama perasaanku. Aku sudah jatuh cinta padamu, Cha. Maaf kalau aku lancang. Tapi aku nggak maksa kamu buat balas perasaanku. Aku hanya ingin kamu tau saja tentang perasaanku.”
“Maafin aku Putra, aku nggak tau harus bersikap bagaimana. Karena aku belum memikirkan hubungan sejauh itu. Aku belum bisa melupakan masa laluku. Aku tak ingin menyakitimu. Selama ini kamu sudah sangat baik padaku.”
“Tak apa. Aku akan menunggu mu. Sampai kamu bisa melupakan masa lalumu itu.”
Semenjak kejadian itu, aku sadar. Kenapa selama ini aku terus memikirkan Reno. Karena Reno mirip dengan masa laluku. Selama ini aku menyukainya karena aku anggap dia itu masa laluku dan bukan sebagai Reno. Tak lama kemudian, Reno mengajakku untuk bertemu. Kali ini aku akan menjelaskan semuanya.
“Ren, ada yang ingin aku bicarakan. Ini serius.”
“Aku juga mau bicara sama kamu. Sebenarnya aku mengajak kamu kesini, karena aku pengen mastiin soal perasaanku dan perasaan kamu.”
“Aku mengerti apa yang kamu maksud. Pasti Lyna sudah menceritakannya padamu. Tentang masa laluku. Maaf, ternyata selama ini aku salah. Aku memandang kamu bukan sebagai Reno, tetapi aku menganggap kamu seperti cowok di masa laluku yang telah tiada. Aku tak bermaksud mempermainkanmu.”
“Tenang saja. Selama ini perasaanku sama kamu itu tulus. Tapi ada orang yang jauh lebih baik dariku. Dan aku yakin dia bisa membuatmu bahagia tanpa harus melupakan masa lalumu.”
“Ya kamu benar, mungkin sekarang aku harus belajar membuka hatiku dan menerima Putra.”
Semenjak itu, aku mulai membuka hatiku dan menerima Putra. Dia sangat sabar menghadapiku. Dia tidak menuntut untuk selalu dicintai. Namun, lama-lama rasa itu tumbuh sendiri. Aku bersyukur ada orang yang setia menungguku dan menjagaku dengan tulus.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar