Kamis, 19 Maret 2015

Cinta Gengsi (Kasih Tak Sampai)

Kedua bola matanya masih menatap hujan dari jendela kelasnya. Yang memang kini giliran saat musim hujan beraksi, setelah musim panas berlalu dengan sendirinya. Entah apa yang ada di pikirannya sekarang, entah apa yang menghalangi pendengarannya, Rebeca terkejut ketika sahabatnya, Elsa memanggilnya.
“Rebecaaaa!”
“Hah? Eh iyaaa? Kenapa?” sahut Rebeca kemudian setelah Elsa telah memanggilnya berulang kali.
“Lo kenapa?” Tanya Elsa memastikan.
“Gak kok, gua fine-fine aja hehe.” Jelas Rebeca yang seperti sedang menyembunyikan sesuatu.
“Kantin yuk!” ajak Elsa mengalihkan topik pembicaraan seolah tidak peduli dengan sahabatnya itu.
“Gak ah, gua lagi males.” Jawab Rebeca dengan ekspresi datar.
“Ya udah, gua cabut dulu ya. Take care!” sambung Elsa kemudian yang seakan sudah tahu tentang apa yang terjadi dengan sahabatnya dan sekaligus mengakhiri pembicaraan.
Elsa meninggalkan ruangan kelas yang mulai tak beraturan itu. Wajar saja, sekarang adalah waktu interval. Anak-anak bebas melakukan apa saja pada jam ini, asal tidak melanggar peraturan yang berlaku di salah satu sekolah Swasta Favorit di Jakarta itu.
Sementara Rebeca, melanjutkan aktivitasnya yang tadi sempat tertunda. Matanya kembali tertuju pada hujan yang masih juga turun dengan derasnya. Melihat hujan yang seakan juga sedang melihatnya. Memperhatikan setiap langkah kilatnya, berharap sang hujan mengetahui arah tujuan hatinya juga mendengar raungan hatinya. Menyaksikannnya dengan penuh kepekaan, seolah hujan itu mengerti tentang apa yang Ia rasakan dan mengetahui persis tentang apa yang terjadi pada dirinya. Suara gemuruh sebagai ciri khas pembawaannya, seolah sedang berbisik dengan batinnya. Meski lalu lalang anak-anak yang mulai bertebaran menghalangi pemandangan yang sedang asyik Ia tonton, Ia tak peduli. Sampai pada akhirnya bel pun menyadarkannya dari lamunannya itu. Sekaligus sebagai tanda bahwa interval telah berakhir.
Selang beberapa menit kemudian, Ibu Vega, guru piket pada hari selasa datang memberikan tugas mencatat. Beliau menyampaikan, bahwa Ibu Yeshi, guru Matematika, tidak dapat mengajar pada hari ini dikarenakan ada keperluan di Dinas Pendidikan. Tentu, hal ini menjadi kabar gembira bagi anak-anak yang mulai lelah pada jam pelajaran yang mendekati terik, terlebih pelajaran matematika.
”Caaa, gua duduk sini ya?” suara sesosok yang selama ini ada dalam pikirannya, kini terlintas jelas dalam otaknya bahkan dalam jangkauan penglihatannya, sebut saja Ari.
“Oh iya, duduk aja.” Balas Rebeca yang jelas masih terlihat kaget dan terkesan agak salting itu.
“Eh, Ca, temen sebangku lo kemana?” sambung Ari kemudian membuka pembicaraan.
“Hah? Eh siapa? Fika? Hmm… gua kurang tau, Ri.” Kata Rebeca ngasal. Sebenarnya Rebeca tahu alasan kenapa teman sebangkunya itu tidak masuk hari ini. Dia izin, karena menjemput saudaranya yang baru saja mendarat di Bandara Soekarno-Hatta. Orangtuanya sibuk dengan kerjaannya masing-masing, terpaksa Fika menuruti tugas dari kedua orangtuanya itu.
“Lo kenapa, Ca? kok kayak orang gugup gitu? Lo sakit? Apa lagi ada masalah?” kata Ari yang sontak membuat Rebeca shock terlebih lagi GR.
“Eh gak kok, Ri. Sorry, gua lagi gak konsen nih.” jawab Rebeca.
“Oh ya udah, lo kalau ada masalah cerita aja ke gua, siapa tau gua bisa bantu.” Kata Ari dengan memberikan setitik senyuman maut di wajahnya itu dan ini membuat Rebeca menaruh harapan lebih ke Ari.
“Hmm… Thanks, Ri!” jawab Rebeca singkat. Mulutnya seolah terkunci. Blank! Sampai Ia tidak tahu apa yang harus dikatakannya lagi. Detak jantungnya beroperasi lebih cepat dari biasanya. Sampai Ia takut kalau Ari akan mendengarnya.
Jam pelajaran berganti. Kini giliran Ms. Dini yang mengajar. Tapi bejonya, Ms. Dini tidak dapat mengajar di jam pertama akibat menangani kasus anak didiknya. Selain menjadi guru bahasa Inggris, Ms. Dini juga ditugaskan sebagai Wali kelas anak kelas 11. Walaupun Ms. Dini terkenal enak dengan cara mengajarnya, tapi jam-jam kosong seperti ini ditunggu-tunggu oleh setiap anak kelas 12 yang merasa terbebani dengan tugas-tugas sekolah akhir-akhir ini. Kesempatan ini pun tidak akan mereka sia-siakan. Ari yang tadinya duduk di sebelahnya kini terlihat sudah bergabung dengan anak laki-laki lainnya. Suasana yang tadinya memang sudah tidak bersahabat kini semakin riweuh dengan keterlambatan Ms. Dini.
Rebeca pun tidak menyia-nyiakannya, Ia mulai mengeluarkan buku hariannya yang selalu Ia bawa kemanapun Ia pergi. Dia tidak ingin ada yang menyentuh apalagi membacanya. Baginya, itu adalah buku keramat yang tak seorangpun tidak boleh tahu. Bahkan, Ia pernah pulang lagi ke rumah demi mengambil buku keramatnya, Ia takut apabila bukunya ditemui oleh adiknya yang terkenal jahil di keluarganya itu.
Dengan lancarnya, Rebeca mulai menuangkan semua yang ada dalam pikirannya ke dalam buku kesayangannya itu.
06/02/2014
Dear Diary,
Aku gak tau tentang perasaanku kali ini. Aku senang bisa duduk bersebelahan dengannya. Aku senang bisa ngobrol dengannnya, meski tak sebanyak kalimat yang aku harapkan. Aku bahagia.
Aku merasa nyaman saat berada di dekatnya, yang tak pernah aku rasakan ketika aku duduk dengan lelaki lainnya. Dia seperti malaikat yang bisa melindungiku dari segala marabahaya.
Ya Tuhan, apa dia memiliki perasaan yang sama terhadapku? Apa ini hanya harapanku saja? Ya Tuhan, apa aku salah telah menyukai orang yang mungkin masih menyukai sahabatku, Elsa?
Ya Tuhan, andai aku mengenalnya lebih dulu dibanding sahabatku. Mungkin ada kesempatan bagiku untuk memilikinya. Mungkin dia tidak akan tersakiti olehnya, akibat penolakkannya. Mungkin saja dia akan bahagia denganku sekarang.
Ya Tuhan, biarkan semua ini tersimpan dalam benakku. Biarkan perasaan ini hanya Engkau, aku dan Wina, sahabat Penaku yang tahu. Dan juga buku ini yang menjadi saksi atas perasaanku.
Aku gak mau! Kalau saja si Elsa tau tentang perasaanku ini. Apa jadinya aku nanti? Gimana jadinya bentuk mukaku nanti? Seperti kepiting yang baru saja direbus dan kemudian siap disantap oleh penikmatnya? Begitu? Aku gak mau! Mau taruh dimana mukaku ini?
Ya Tuhan, sedikitpun aku gak mau membayangkannya. Aku gak mau menanggung malu nantinya. Aku gak mau sahabatku menertawakanku atas perasaanku kepada sesosok yang pernah menyukainya.
Ya, Tuhan, bantu a…
“Ca, lagi apa lo?” kata Elsa yang tiba-tiba nongol dengan suara lantangnnya yang otomatis mengagetkan Rebeca yang belum menyelesaikan curhatannya itu.
“Eh, elo, Sa. Gak kok, lagi iseng aja gua.” Sahutnya sambil memasukkan buku keramatnya itu ke dalam tas mungilnya.
“Pulang sekolah lo ikut gua ya, lagian ujannya udah mulai reda.” Ajak Elsa yang percaya dengan alasan sahabatnya itu.
“Kemana?” jawab Rebeca penasaran.
“Udah, tar lo juga tau.” Singkat Elsa.
“Oke deh, tapi pulangnya jangan sore-sore banget ya?” lanjut Rebeca.
“Siaap bos!” ledek Elsa.
Setelah Elsa kembali ke tempat duduknya, tidak lama Ms. Dini masuk ke kelas dan meminta maaf akibat keterlambatannya dan kealpaannya memberikan tugas. Anak-anak yang mempunyai sejuta akal dan patut diacungi jempol untuk kekompakannya, bersekongkol untuk seolah-seolah tidak terima dengan keterlambatan Ms. Dini itu. Berbagai alasan yang mereka lontarkan membuat Ms. Dini menjadi semakin merasa bersalah. Dan kejadian ini pun sukses menjadikan kelas ricuh kembali. Untungnya, ada salah seorang anak yang menyudahi sekaligus menengahi keributan yang tak pantas untuk ditiru. Akhirnya, Ms. Dini kembali mengajar dengan cara yang tak disegani anak-anak itu. Selang beberapa menit, bel pun menghentikan aktivitas siswa yang sedang mengerjakan tugas dengan giatnya. Dilanjut merapihkan buku dan doa bersama.
“Ca, jadi ikut kan?” Tanya Elsa memastikan.
“Iya Oke, mau kemana?” Rebeca balik Tanya yang mulai beranjak dari bangkunya.
“Taman.” Jawab Elsa dengan senyuman.
“Taman sekolah? Mau ngapain?” Tanya Rebeca dengan raut muka yang jelas semakin penasaran.
“Iya taman sekolah, masa iya mau ke taman Bogor. Jauh keleeesss! Ayooo ikut aja!” Elsa menarik tangan Rebeca. Membawanya ke tempat yang sudah di dekorasi dengan indahnya ditambah sisa aroma khas hujan yang masih tersisa, sesekali sejuknya embun yang merasuk jiwa terbawa oleh tiupan angin yang sepoi-sepoi, membuatnya jatuh dari tempat persinggahannya. Indah sekali! Menjadikan suasana yang romantis bagi dua insan yang sedang dimabuk cinta. Membawa kegembiraan bagi anak cucu adam yang menginjakkan kaki diatasnya.
“Sebenarnya ada apa sih?” Tanya Rebeca lagi.
“Ah elo, Ca! kemaren-kemaren kemana aja? Sibuk sama buku-buku lo sih.” Ledek Elsa lagi. Memang, Rebeca adalah salah satu siswa berprestasi di sekolahnya itu, seringkali dia menghabiskan waktunya dengan membaca buku.
“Saaa, gua serius!” jawab Rebeca, kali ini dengan muka memelas.
“Hehe sebenernya, kita disini mau ngeresmiin hubungan Ari dengan Andini. Dan gua, sebagai mak comblang sudah berusaha semaksimal mungkin untuk melaksanakan tugas dengan baik. Agar supaya statusisasi hubungan mereka jelas dan tidak ada lagi kontroversi hati ataupun kudeta hati tetapi timbul yang namanya konspirasi kemakmuran yang mencakup harmonisisasi tanpa memanipulasi yang telah diapresiasi.” Jeplak Elsa sembari cengengesan dan sedikit lebay kata-katanya yang masih menirukan gaya Vicky yang sempet booming tahun lalu itu.
“Ari sama Andini?” Rebeca meminta kepastian tanpa menghiraukan ocehan sahabatnya itu.
Belum saja Elsa, menjawab pertanyaan Rebeca. Ari diikuti Andini datang dengan waktu yang sudah direncanakan. Elsa yang memang dari tadi menunggu kedatangan mereka, menyambut dengan suka cita. Bak seorang ibu yang sedang menunggu kehadiran anaknya duduk di atas pelaminan yang sebentar lagi akan resmi menjadi sepasang suami istri bahagia.
Sementara Rebeca, matanya mulai berkaca-kaca. Dadanya mulai terasa sesak. Rasa yang pada awalnya hanya sebatas rasa suka, menjadi rasa sayang seiring dengan berjalannya waktu tanpa Ia sadari. Kini, rasa sayangnya telah berubah menjadi rasa sakit yang tidak pernah ia harapkan dalam kisah percintaannya. Hatinya remuk melihat semua yang ada di depan matanya. Seperti seorang budak yang mendapat perlakuan tidak pantas dari majikannya. Seperti hamba sahaya yang hanya bisa menerima semua perlakuan si empunya. Pasrah, hanya itu yang dapat Rebeca perbuat kali ini. Dia tidak tahu apa yang harus diperbuatnya. Sekarang yang ada di pikirannya adalah Ari dan rasa penyesalannya.
Ari, orang yang baru saja Ia ceritakan dalam buku keramatnya. Orang yang selama ini ada di dalam benakknya, sebentar lagi akan menjadi milik orang lain. Itu berarti tak ada kesempatan baginya untuk memilikinya. Rebeca tidak bisa membendung kesedihannya. Ia menyesal tidak menceritakan kepada sahabatnya itu. Karena, baginya itu mustahil. Dia lebih mementingkan gengsinya. Kini Ia menyesali perbuatannya itu. Andai semuanya tahu tentang perasaannya, mungkin jalan ceritanya akan berbeda. Mungkin semuanya tidak akan seperti ini. Setidaknya Dia tidak akan bertanya-tanya kepada dirinya yang tidak tahu-menahu itu tentang apa yang dirasakan oleh orang yang disayanginya.
Tak ada jalan keluar, melainkan jalan buntu yang menghadang. Air mata yang seharusnya tidak keluar dari kedua matanya, kini mengalir deras. Seolah hujan telah berpindah ke mata indahnya itu.
The End

Tidak ada komentar:

Posting Komentar