Rabu, 18 Maret 2015

Hingga Akhir Waktukku

Ku buka tirai jendela kamarku. Matahari bersinar cerah, seperti berlawanan dengan suasana hatiku yang masih seperti semalam. Semalam jantungku berdegup kencang. Kini deg deg-an itu menghilang. Tapi resah itu masih ada. Sesekali kuhela nafas panjang. Mungkinkah ini firasat? Atau ini pertanda penyakit? Ah, harusnya tak perlu kuperdulikan perasaan ini. Kuikhlaskan semua ini. Apa yang akan terjadi hari ini, biarlah terjadi. Akhirnya kurasakan sedikit ketenangan. Perasaanku lebih baik sekarang. Kalau begini, aku siap menghadapi hari dengan senyuman. Aku harus ke kampus hari ini, kuharap semuanya lancar.
Aku sedang mengobrol di bawah pohon bersama dengan teman-temanku saat tak sengaja kulihat dia berdiri di depan ruang kuliah. Aldy, cowok yang akhir-akhir ini mendekatiku. Sudah lama aku mengenalnya. Ia adalah sosok yang dewasa dan perhatian. Tapi bukan dia, bukan dia yang selama ini mengisi relung hatiku. Tapi dia yang satunya lagi. Dia yang baru saja keluar dari ruang kuliah. Dia yang kini berjalan ke arah lapangan parkir. Dhion. Cowok jangkung, pendiam, tapi humoris. Tapi dekat dengannya juga bukan berarti ia memiliki rasa yang sama seperti rasa yang kumiliki untuknya. Telah kucurahkan isi hatiku kepada ibu. Ibuku menasihatiku untuk memilih orang yang mencintaiku. Ibu seakan memahami, bahwa cinta yang kumiliki selama ini kepada Dhion sebenarnya bertepuk sebelah tangan. Kini kubuka hatiku untuk orang lain. Orang yang mungkin bisa membahagiakanku.
Aldy menghampiriku. Senyum manisnya akhir-akhir ini menghiasi hari-hariku. Tatapannya yang teduh dan sapaan hangatnya mulai membuatku merasa ada yang kurang saat lama tak berjumpa dengannya. Tapi aku enggan menunjukkan perasaanku. Aku masih tidak yakin akan diriku. Di hatiku masih ada Dhion.
“Zia, nanti malem ada acara gak?” tanya Aldy, yang kini duduk tepat di sisiku.
“Hm, kayaknya gak ada. Kenapa?” sahutku datar. Seperti biasa.
“Keluar yuk, di tempat biasa ya” katanya sambil tersenyum.
“Boleh deh” sahutku.
“Ya udah kalo gitu aku pulang dulu ya. Ada kerjaan nih. Kamu masih ada kuliah kan ntar lagi?”
“Iya. Masih ada kuliah, ya udah hati-hati ya”
Aldy mengangguk lalu berlalu. Berjalan menuju lapangan parkir, menunggangi kuda besinya lalu pergi meninggalkan kampus.
Saat Aldy berlalu, kulihat seseorang berjalan dari arah lapangan parkir menuju ke arahku. Dhion. Dia sedari tadi mengobrol dengan temannya di lapangan parkir.
Jantungku berdegup kencang. Kali ini aku tahu mengapa. Pasti karena Dhion.
“Zi, nanti malem keluar yuk?” kata Dhion
“Hah? Kemana?” Serasa mimpi. Dhion memang ramah terhadapku. Tapi baru kali ini ia mengajakku pergi bersamanya.
“Nonton pertandingan sepakbola. Gak enak sendirian nonton. Gak seru. Nanti nontonnya di stadion deket rumahmu. Aku tunggu di depan stadion ya, soalnya masih ada perlu dengan temanku disana. Nanti aku sms kamu deh. Tapi kamu gak ada acara kan entar malem?”
“Gak ada kok” Ah, apa yang kukatakan tadi? Bukankah aku ada janji dengan Aldy. Apa yang harus kulakukan?
Sepulang dari kampus kuceritakan semua kejadian hari ini kepada Ibuku. Aku bingung dengan kedua janji yang telah kupilih di waktu yang bersamaan. Aku meminta pendapat beliau mengenai pilihan yang terbaik.
“Sayang, kamu kan lebih dulu janjian dengan Aldy. Nah, kamu samperin Dhion, kamu minta maaf ke dia kalo gak bisa nemenin nonton karena kamu ada keperluan lain. Gitu aja” Kata Ibu.
Benar memang. Aku seharusnya pergi menepati janjiku dengan Aldy, tapi aku sebenarnya ingin menemani Dhion. Ku anggukkan kepalaku, menyetujui saran Ibu. Tapi pikiranku masih melayang.
Aku berjalan menuju stadion tak jauh dari rumahku untuk menemui Dhion dan membatalkan janjiku dengannya. Tapi apa yang kulakukan. Aku justru menemaninya menonton bola. Rasa senang bercampur dengan perasaan bersalah karena melupakan janjiku dengan Aldy. Dhion yang kini berada di sisiku tak mampu mengalahkan rasa gelisahku saat ini. Aldy pasti kini sedang menungguku di café tempat kami biasa bertemu. Aku tak tahan dengan rasa gelisah ini. Entah mengapa aku merindukan dia sekarang. Aku merasa apa yang kupilih saat ini salah. Apa yang kulakukan kini adalah melawan kata hatiku. Aku beranjak dari kursi yang kududuki, Dhion menatapku.
“Mau kemana?” tanyanya.
“Maaf Dhion, aku ada perlu. Aku pergi dulu”
Aku berjalan cepat, keluar dari stadion. Kupercepat langkahku, hingga aku setengah berlari menyusuri jalan menuju café itu. Air mata membasahi pipiku. Sambil berlari, kuusap air mata yang merembes. Aldy, kuharap kamu masih disana.
Aku terengah-engah saat kulihat Aldy masih di dalam café tempat kami biasa bertemu. Aku duduk di hadapannya, dia sedang membuang muka karena sedang menelpon. Mungkinkah ia marah? Ia sebal karena aku datang sangat terlambat? Hampir dua jam?
Aldy menunduk dengan tatapan kosong. Ia tak mau memandangku. Ia lalu berdiri, dan beranjak dari tempat duduknya. Berjalan keluar dari café dengan langkah cepat.
“Al! Kamu marah?”
Aku mengejarnya untuk menjelaskan semuanya. Tapi ia tak mendengarku, ia terus pergi. Aku menangis.
Aku berjalan dengan gundah, berjalan searah dengan arah Aldy pergi. Aku tahu tak mungkin menyusulnya karena ia menaiki motor. Tapi aku tetap berjalan. Entahlah, mungkin aku hanya berusaha menghukum diriku sendiri. Tapi sepertinya Tuhan memahami keinginanku untuk bertemu lagi dengan Aldy. Tiba-tiba aku melihatnya turun dari motornya di suatu bangunan. Entah apa, aku tak begitu memperhatikan. Aku hanya ingin mengejarnya. Aku berlari terus. Kulihat ia masuk ke sebuah ruangan, aku ikut memasukinya.
“Kenapa bisa seperti ini?” tanya Aldy kepada seseorang di sampingnya.
Aldy duduk di samping tempat tidur. Di atas tempat tidur berbaring seseorang. Aldy menggenggam erat tangannya. Kulihat ada ayah dan ibuku juga disana. Kudekati kasur pesakitan itu. Aku terhenyak, ingin berteriak.
“Tuhan, apa yang terjadi padaku?” bisikku lirih.
Aku terduduk, terdiam. Tak tahu harus berbuat apa. Samar-samar kuingat saat sebuah sinar terang menyilaukan mataku ketika aku berlari menuju café itu. Sekarang aku ingat semuanya. Aku tersadar. Tak ada yang bisa kulakukan.
“Aku bakal nunggu kamu buka matamu sampai kapanpun, Zi. Aku bakal nemenin kamu disini. Saat kamu bangun nanti, kuharap kamu mau menemaniku menghabiskan sisa umurku bersamamu” Aldy menggenggam erat tanganku, air mata membasahi pipinya. Air mata yang tak bisa kuusap karena aku tak bisa menyentuhnya. Aku menangis dan berteriak. Tak ada yang mendengarku. Tunggu aku Al, jika Tuhan mengizinkan aku akan segera kembali untuk memenuhi janjiku dan menemanimu. Hingga akhir waktuku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar