Kamis, 19 Maret 2015

Hear my Heart, Because Hurt

Perasaan itu memang tak pernah dikehendaki, ya apalagi kedatangannya hanya meninggalkan bekas pada lorong-lorong hati yang kini mulai berdarah. Bukankah cinta itu menjanjikan kebahagiaan? Jawabannya tak semudah yang dikata, memang susah dikata saat cinta berkata.
Harapan yang kini mulai pudar itu semakin teriris waktu, semakin bergeser pada bayangan semu dan semakin meninggalkan keindahan yang dijanjikan waktu. Tetapi sampai disanakah perjuangan itu terus dilakukan? Harapan itu meninggalkan hati yang telah lama mencoba sabar, sabar dan terus bersabar hanya untuk mendapatkan kepastian. Tapi kenyataannya?
Kebersamaan yang telah berlalu bersama waktu seolah tercipta hanya untuk menjadi kenangan saja. Kadang keluar suatu pikiran yang pada akhirnya bermuara pada asa yang mulai melemah, apa yang harus dilakukan?
Sebut saja namanya Alfyari Lucia. Sebuah nama dengan panggilan yang cukup sederhana. Ify. Namun tak dapat dipungkiri, meski nama itu indah, tetap saja takdir tidak pernah menempatkan perjalanan hidupnya dalam keindahan. Bukan takdir yang salah, dan bukan dirinya yang salah. Sekalipun takdir salah, tetap saja tidak bisa dielakkan
Tatapannya masih mengarah lurus kepada seseorang yang sedang berkumpul dengan sahabat-sahabat terdekatnya. Akhir-akhir ini orang yang ditatapnya semakin jauh dari dirinya, lengang dari kebersamaan yang meneteskan tawa setiap saat.
“Setiap kali aku melihatmu, mengapa harus senyuman itu terukir? Mengapa bisa dia menjadi bagian dari kebahagiaanku?” Ucapnya lirih, tatapannya semakin melemah hingga terpatri setitik air yang menggaris pada ujung matanya. Begitu perihnya menatap seseorang yang tanpa kepastian akan menatap dirinya dan menyadari tentang perasaan itu.
Setiap saat tatapannya menangkap sosok itu, yang tersisakan hanyalah perih. Perih yang selalu menjalar di setiap waktu, sampai pada akhirnya Ify tak bisa mengendalikan rasa itu. Yaa, rasa itu terlalu kuat mengekangnya. Ify tak pernah lelah menyingkirkan setiap keperihan yang ada, meski pada akhirnya dirinya pun semakin terbasuh perih itu.
“Saat ini yang kutahu pasti, aku lelah untuk menerima luka. Hati yang selama ini kubiarkan menerima kesakitan itu gak mungkin bisa sekuat dulu. Luka menyiraminya dan air mata yang menghiasnya. Aku lelah.” Ucapnya dengan perlahan, seiring air mata yang membawa kesakitan itu keluar dari batinnya akibat desakan yang begitu hebat.
“Sampai kapan kebahagiaan yang selalu kunanti akan datang? Dan kapan aku akan bahagia bersamanya? Atau apa memang takdir gak pernah berkata tentang aku dan dirinya?” Kembalilah ucapannya bergetar, takkan pernah ada hentinya rasa itu mengalir seolah air yang terus mengikuti irama waktu. Mengalir, mengalir dan selalu mengalir.
“Kamu gak akan pernah bisa bahagia sebelum ada tanda-tanda yang nyata untukmu, semua yang kamu lakukan gak akan pernah melahirkan buah kenyataan dari harapan yang kamu lakukan. Yang harus selalu kamu tahu, kamu adalah seseorang yang gak pernah ada dalam pikirannya karena setiap kali tatapannya beradu pada pantulan cahaya di ruang terbuka, di situlah kamu hanya akan menjadi bayangan. Tidak mungkin kamu bisa menjadi sesuatu yang kamu inginkan, dan dia pun gak mungkin menjadi orang yang kamu inginkan.” Ucap seseorang dengan irama sendu.
Sepintas Ify mengedikkan kepalanya, di belakang telah berdiri tegap seseorang yang selama ini selalu menjadi tumpahan air mata Ify, seseorang yang selama ini selalu menerima keadaan Ify, seseorang yang sudah merelakan waktunya hanya untuk mendengarkan ucapan-ucapan tulus Ify yang kedengarannya memang klise.
“Kak Gabriel,” Buru-buru tangannya menyeka air mata yang sedari tadi membentuk patahan-patahan kecil yang membentangi kedua pipinya. Butiran bening itu selalu menjadi buah keikhlasannya. Selama ini jutaan tetesan bening telah mengalir karena orang itu, iya seseorang yang tak pernah menyempatkan dirinya untuk melihat, mendengar dan merasakan dalamnya perasaan itu.
“Seberapa berharganya sih, Rio bagimu dan kenapa kamu hanya bisa ikhlas di atas sakit yang selalu melumpuhkanmu, atau apa kamu pikir kesakitan itu tanda awal kebahagiaanmu?” Tanyanya dengan sedikit penekanan, mencoba membangunkan kesadaran Ify yang telah lama tertimbun keikhlasan demi keikhlasan yang memakan rasa perih itu.
“Selama ini aku yang selalu ikhlas, aku yang selalu merelakan semuanya, aku yang selalu membiarkan diri menahan sakit itu, dan aku yang selalu berusaha mati-matian memperjuangkan perasaan ini. Tapi apa yang aku dapatkan? Kenapa harus sakit, luka, perih? Kenapa harus selingan tiga kata itu yang membuat aku lumpuh disini?” Ify memukul bahu Gabriel sekencang-kencangnya, mencoba melampiaskan rasa sakit yang bisa Gabriel rasakan sendiri.
Gabriel menatap Ify dengan kalut, merasakan perempuan itu tak seharusnya berada pada posisi yang lemah seperti ini. Maka dari hatinya, tumbuh tekad untuk menyadarkan sahabatnya sendiri. Rio, seseorang yang selalu dinantikan kedatangannya.
“Aku gak pernah minta perasaan ini hadir, aku gak pernah minta sakit itu datang dan menjadi bagian dari perasaanku. Tapi yang aku minta hanya kebahagiaan, ya walaupun sesaat, kak.” Ify menekan dadanya, yang pada waktu itu hanya ada kecamuk antara rindu dan pedih yang membelah perasaannya.
Memang menyakitkan, sangat menyakitkan bahkan. Mengapa perasaan datang di saat waktu yang tak diharapkan? Atau perasaan itu datang dengan balasan, tetapi bukankah perasaan itu tak menjanjikan kebahagiaan? Dan bukankah perasaan itu bukanlah awal tanda dari suatu kebahagiaan yang akan mencapai titik keabadian?
Kebahagiaan itu sederhana, bukan? Cukup bisa menikmati kebersamaan bersama orang yang sangat berarti saja bisa melahirkan kebahagiaan. Tetapi untuk seseorang yang berarti… Tidak! Ify tidak membutuhkan seseorang yang berarti, yang dibutuhkannya hanyalah seseorang yang bisa membuat hidupnya lebih berarti.
“Kadang kebahagiaan yang sudah kita upayakan hanya menjadi kekecewaan dan kadang air mata bisa merubah segalanya, yang pada akhirnya membuat kebahagiaan terasa nyata.” Gabriel menghela nafas sekilas. “Mungkin kamu harus terus sabar, kakak berpesan lebih baik kamu jauhi dia. Jauhi seseorang yang belum pasti bisa buat kamu senang, yang gak pasti akan membuat kamu senang dan selalu tersenyum.”
Saat itu, Ify hanya bisa membenamkan diri dalam dekapan kakaknya. Ify tak kuasa untuk melihat lagi, dan ketegaran itu telah menipis. Suatu saat, mungkin akan datang takdir yang akan mengakhiri semuanya. Ify percaya akan itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar