Rabu, 18 Maret 2015

Tugasmu Telah Usai

Karena alasan pemerataan pembangunan, kantor ayah dipindahkan ke ibu kota kabupaten. Itu berarti aku dan keluarga akan ikut pindah tak terkecuali sekolahku. Dan aku tidak sedikitpun merasa keberatan dengan hal itu. Aku sangat menyukainya. Mendapat teman baru itu berarti akan menambah daftar orang-orang yang akan ku undang untuk menghadiri perayaan sweet 17th ku bulan depan.
Perayaan ulangtahun begitu asing dalam keluargaku, namun kali ini aku bersikeras untuk tetap merayakannya, tentu dengan usaha keras untuk membujuk orangtuaku. Dan akhirnya dengan berbagai alasan yang meyakinkan ayah, ayah mengabulkan permintaanku. Aku mendapat izin dari ayah untuk mengundang teman-temanku dan merayakannya.
Penaku terhenti pada satu nama yang baru saja kuingat. Mataku tetap memandangi kertas yang berisi daftar nama teman-teman yang akan kuundang, namun pandanganku jauh menembusnya bahkan dengan cepat memutar kenangan bersama seseorang yang memiliki nama itu. Mengingat dan menorehkan kisah bersamanya sama saja mengembalikanku ke masa kanak-kanak.
Saat kanak-kanak aku senang sekali memanjat pohon mangga yang tepat berada di sebelah rumah nenek bersama dengan sahabatku, Yuni. Aku akan memetik beberapa mangga, tak peduli matang atau tidak, dan Yuni akan menjaga jika saja ayah tiba-tiba datang dan memarahi kami. Tidak jarang ayah memarahi kami. Namun Yuni akan selalu menolongku. Aku hafal betul. Yuni akan berbohong pada ayah bahwa aku ke warung dan ia sedang menungguku. Setelah ayah berbalik dan kembali masuk ke rumah, ia akan segera menyuruhku turun dan tentu harus membawa beberapa buah mangga yang memenuhi kantong celanaku.
Karakter pemilik nama itu tak jauh beda dengan sahabat kecilku itu. Yuni akan selalu menolong dan menjagaku meski dengan kebohongan-kebohongan kecil ala anak seumuranku waktu itu, sedang saat ini Ardi –kamu pemilik nama itu- melakukan hal yang sama tentu dengan penuh kejujuran, itu bedanya. Dan ya, tentu saja. Sebisa mungkin kau mengarahkanku untuk tetap mengantongi buah mangga sebagai bayaran untuk kejujuranmu. Namun akhirnya mangga itu hanya kunikmati sendiri, dan dengan senyum manis kau duduk menyaksikanku menikmatinya.
Ah, dan sekarang setelah aku cukup lihai memetik mangga tanpa harus mengkhawatirkan ayah yang tiba-tiba datang, kau memilih pergi dengan alasan yang sangat klasik, kau mengatakan aku sudah mampu memetik sendiri dan tidak membutuhkanmu lagi untuk mengarahkan petikanku pada mangga yang tepat.
Tiba-tiba teriakan mama membuyarkan kenangan itu, “Ra, kamu tentu mengundang Ardi kan di acaramu nanti?” Suara nyaring mama membuatku tersentak.
Bagaimana aku bisa mengundangnya, sedangkan Ardi telah memilih menjauh dariku. Dan sekarang ia bahkan tidak tahu tempat tinggalku yang baru. Harus kuakui rasa yang mengacaukan hatiku itu memang hadir begitu lama hingga kutemukan dirinya dalam diriku. Intensitas pertemuanku dengannya membuatku tidak bisa menghindar untuk selalu mengaguminya. Well, tidak hanya wajahnya yang seperti dipahat oleh pematung kelas dunia, ia juga seorang yang menarik, pintar dan punya kepercayaan diri yang tinggi. Akh, kombinasi itu yang selalu membuatku celaka. Namun celaka kali ini sungguh berusaha mendewasakanku.
“Ra. Cintra. Kau mendengar mama?” Teriak mama dari balik pintu kamarku sekali lagi, dan yah, mama berhasil membuyarkan kenangan itu lagi.
“Iya, Ma.” Aku membalasnya tanpa beranjak dari tempatku.
Mama mengulang pertanyaannya, “Kamu tentu mengundang Ardi kan di acaramu nanti?” Teriakan mama semakin mengeras. Rupanya mama khawatir teriakan pertamanya tak berhasil kudengar, dan mama salah besar. Bahkan tetangga sebelah pun mendengar teriakan itu.
“Entahlah, Ma” Segera kujawab pertanyaan mama. Aku takut mama kembali berteriak dan hilang kesabaran, kemudian mendobrak kamarku untuk memastikan aku baik-baik saja di dalam sini.
“Astaga” Pekikku.
Aku gelagapan mencari kalimat yang tepat agar mama bisa melupakan jawabanku tadi atau setidaknya bisa kuluruskan. Aku baru sadar, jawaban tadi tentu akan mengundang banyak pertanyaan lagi dari mama. Tentu saja, selama ini mama menganggap hubunganku dengan Ardi baik-baik saja. Dan, “Duh” pekikku sekali lagi. Usaha itu tak berhasil,
“Maksudmu? Kau sedang ada masalah dengannya?” Mama lebih dulu meminta penjelasan, dan aku yakin dibalik sana mama telah mengernyitkan alisnya. Bersiap menghujaniku dengan lebih banyak pertanyaan lagi jika seandainya aku berani jujur dan mengiyakan todongan mama.
“Maksudku entah kapan aku mencetak undangannya dan segera memberikannya pada Ardi” Kataku dengan nada yang sungguh gelagapan. Yes, alasan yang bisa jadi tepat untuk menghindari pertanyaan selanjutnya. Untung saja mama tak berada di hadapanku, seandainya saja mama melihat air wajahku tentu ia akan tahu bahwa saat ini aku sedang berbohong.
“Oh, ya sudah. Tapi kan Ardi tidak perlu kau beri undangan. Seharusnya kau sudah memberitahunya sejak kau punya inisiatif untuk merayakannya. Kau tak cerita padanya?” Tanya mama bertambah keheranan.
“Astaga, MAMA!” Entah untuk keberapa kalinya aku memekik. Harusnya aku juga sadar bahwa mama adalah jebolan Universitas ternama di Jakarta dan berhasil mengikutkan embel-embel Sarjana Hukum di belakang namanya. Rahmawati Kusuma, SH. Tentu akan dengan mudah mama mendeteksi hal-hal seperti itu. Dengan sekejap aku menjadi seorang terdakwa yang dilempari pertanyaan-pertanyaan oleh mama yang seorang jaksa.
Segera kugeser kursi yang kududuki, aku hendak berdiri menghampiri mama yang tentu saja masih berada di balik pintu. Aku sudah tak tahan mendengar teriakan mama, terlebih untuk menguras otak mencari jawaban untuk pertanyaan-pertanyaannya.
“Mamaku sayang, yang baik hati.” Kataku sambil memegang bahu mama dan merapikan senyumku. Aku ragu senyumku terlihat rapi, tapi semoga saja. “Aku sengaja tak mengabari Ardi. Ini akan jadi kejutan untuknya” Otak cerdas. Ini pasti gen dari mama. Aku yakin itu. Hahahaa.. “Mama sebaiknya kembali ke kamar dan tidur. Ini sudah malam” Nah, itu adalah pilihan paling aman.
Sejak kuperkenalkan mama pada Ardi, mama dengan sangat mudah mempercayainya. Entah jurus terjitu apa yang dipakainya sehingga dengan mudah merebut hati orangtuaku. Tapi aku tetap membenarkan mama mengingat sikap Ardi yang sopan dan penampilannya yang begitu meyakinkan bahwa dia adalah Pria baik-baik. Namun itulah langkah yang seharusnya paling rawan.
Aku dan Ardi tidak ada hubungan apa-apa. Pun juga rasa yang sempat mengacaukan hatiku telah berhasil kulenserkan dan (berusaha) berganti dengan memosisikannya sebagai kakak. Tak lebih. Meski aku yakin itu hanya penyemangat saja agar hatiku tak banyak berharap darinya.
Tiga hari lagi adalah acara ulang tahunku. Tapi undangan Ardi pun tak kunjung kuberikan. Ke mana dia, aku tak tahu. Toh aku juga tak pernah berusaha mencarinya. Keputusanku sudah bulat, aku takkan mengundangnnya hadir di acaraku. Bukan karena aku tak menghargainya sebagai kakak yang dia posisikan dirinya terhadapku, tapi kepada keputusannya untuk menjauh, lebih tepatnya.
“Aku akan pergi. Jaga dirimu baik-baik, Citra” Katanya sambil mengacak-acak rambutku.
Saat Ardi mengucapkan kalimat itu, aku hanya ingin tertawa terbahak-bahak mendengarnya. Bagaimana tidak, aku yakin Ardi pasti baru saja menyaksikan sinetron serial FTV dan mencomot beberapa kalimat seperti yang baru saja kudengar. Atau… Ya! terinspirasi dari lirik lagunya Pasto, kira-kira liriknya seperti ini:
…Aku akan pergi tuk sementara, bukan tuk meninggalkanmu selamanya.
Aku pastikan kembali pada dirimu.
Asal kau jangan nakal. Aku pasti kan kembali…
Sambil menahan tawa, kudongakkan kepalaku pada Ardi. Ia memang lebih tinggi beberapa centimeter dariku, dan jika berjalan berdampingan jelas membuat orang yang melihat akan beranggapan bahwa kami kakak beradik. Satu lagi yang lebih meyakinkan, kata teman-temanku aura wajahku mirip dengannya. Dan ya! 100. Tebakan kalian tak meleset! Kata “mirip” itu membuat harapanku semakin beranak-pinak.
Melihat wajahnya yang tak sedikitpun menggambarkan wajah seorang yang bercanda. Akhirnya aku mengurungkan niat untuk mengeluarkan gurauanku. Dengan sekejap, air wajahnku meredup melihat bulir air mata merambat membasahi wajahnya, dan tanpa kusadari air mata pun mengalir membentuk garis panjang di pipiku.
Aku yakin perasaan Ardi tak mengalahi sendunya perasaanku, dadaku begitu hampa. Bagaimanapun dia yang menginginkan jarak ini menjadi jelas. Dan alasannya, sekali lagi kuulangi. Sungguh klasik, Ia menganggap langkahku sudah seimbang tanpa pertimbangan darinya. Kakak yang baik. Aku bersyukur mengenalmu. Tapi apakah aku masih bisa pulang untuk mengadu?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar